AL HIDAYAH FM

Selasa, 31 Januari 2012

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PAILIT YANG DIAJUKAN HERYONO DAN KAWAN-KAWAN KEPADA PT DIRGANTARA INDONESIA DITINJAU DARI TEORI HUKUM POSITIVISME


 
A.    Latar Belakang Masalah
Gejolak moneter yang mulai terjadi pada bulan Juli 1997 di Indonesia, mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Kondisi ini telah menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap kreditor luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan sebagian besar debitor tidak mampu membayar utang-utangnya.[1]
Situasi di atas memaksa masyarakat kreditor mencari-cari sarana yang dapat digunakan untuk mendapatkan tagihannya dengan memuaskan, sementara itu Peraturan Kepailitan yang ada yaitu Failliissement-verordening tidak dapat diandalkan (tidak memadai) lagi untuk mencapai tujuan memperoleh kembali apa yang menjadi haknya untuk menyelesaikan masalah kepailitan.
Berdasarkan hal tersebut, International Monetary Fund (IMF) mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya. Desakan IMF itu ditanggapi Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 (PERPU Kepailitan).[2] Setelah beroperasi selama kurang lebih 6 (enam) tahun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Masalah utama dewasa ini, para hakim dalam praktik menerapkan Undang-Undang Kepailitan secara legistis, mendasarkan pada “syarat-syarat pailit” sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Sebagaimana juga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang digantikannya, sedangkan “syarat-syarat pailit” tersebut tidak rasional, karena permohonan kepailitan dapat diajukan dan putusan pailit oleh Pengadilan Niaga dapat diajukan terhadap debitor yang masih solven.
Sebagaimana diketahui, sebelum gejolak moneter tahun 1997, Indonesia telah memiliki peraturan kepailitan, yaitu Faillissements-verordening S.1905-217 jo S.1906 – 348. Sekalipun sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai saat  Faillissements-verordening tersebut diubah dan ditambah, syarat-syarat kepailitan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 peraturan kepailitan tersebut tidak pernah dipermasalahkan oleh dunia usaha. Menurut Pasal 1  Faillissements-verordening tersebut, syarat untuk dapat mengajukan permohonan pailit adalah “setiap debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit”.
Syarat-syarat pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1  Faillissements-verordening tersebut hanya memberikan kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang telah berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang-utangnya. Artinya, debitor tersebut telah dalam keadaan insolven.
Ketentuan mengenai syarat pailit sebagaimana dimaksud sebelum diatur dalam Faillissements-verordening, diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang terpisah bagi pedagang. Bagi pedagang termuat dalam peraturan tentang ketidak mampuan pedagang, yakni dalam Wet Boek van Koophandel (WvK), buku ketiga yang berjudul van de voorziening in geval van onvermogen van kooplieden. Sedang bagi orang-orang bukan pedagang, termuat dalam peraturan tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu, yakni dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv), staatblad tahun 1847 nomor 52 juncto staatblad tahun 1949 nomor 63, buku ketiga, bab ketujuh yang berjudul Den staat van kennelijk onvermogen Pasal 899 sampai dengan 915.[3]   
Dari sejarah sebelum diaturnya syarat-syarat pailit dalam Faillissements-verordening, meskipun masih terpisah, namun telah menyatakan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit, baik bagi pedagang maupun bagi bukan pedagang, sebagaimana dapat dilihat dari kedua judul ketentuan syarat-syarat pailit yakni WvK dan Rv yang berlaku pada waktu itu, adalah tidak mempunyai (onvermogen) seseorang untuk membayar utangnya.
Setelah tidak dipisahkan lagi ketentuan tentang syarat-syarat pailit bagi pedagang dan bukan pedagang, maka yang dimaksud dalam Faillissements-verordening (Fv) dengan setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali utang, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Faillissements-verordening, adalah setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali utangnya, karena tidak mampu membayar utangnya, yang terjadi karena keadaan finansialnya atau aset yang tidak cukup.[4]   
Sejak diberlakukannya undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian diganti dengan undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka debitor yang masih dalam keadaan solven-pun juga dapat dimohonkan oleh kreditor untuk dinyatakan pailit asal memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Berdasarkan pasal tersebut, seorang debitor dapat dinyatakan pailit jika mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.[5]
Permasalahan mengenai syarat-syarat pailit baru muncul setelah dibentuknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian telah diterima dan disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut bukan sekedar menggantikan Faillissements-verordening tetapi mengubah dan menambah isinya. Termasuk yang diubah dari Faillissements-verordening adalah syarat-syarat kepailitan yang disebutkan dalam Pasal 1 Faillissements-verordening.[6] Bunyi syarat-syarat kepailitan diubah menjadi berbunyi, “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.
Dengan diubahnya syarat-syarat pailit tersebut, maka bukan hanya debitor insolven saja yang dapat diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga tetapi juga debitor yang masih solven. Perubahan syarat-syarat pailit tersebut telah menjadi ancaman bagi perkembangan dunia usaha, yang lebih lanjut tidak mustahil dapat menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional.
Sangat disayangkan, ternyata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang menggantikan undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 masih mengadopsi syarat-syarat pailit yang tidak berbeda dengan syarat-syarat pailit menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut.[7] Syarat-syarat pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih kreditornya”.[8]
Seperti dalam kasus yang terjadi pada salah satu BUMN dibidang kedirgantaraan Indonesia yaitu PT. Dirgantara Indonesia. Yang dalam perjalanan usaha PT. Dirgantara Indonesia mengalami permasalahan, yaitu permasalahan sengketa hak dan kewajiban antara mantan pekerja dan perusahaan. Sengketa tersebut dipicu oleh kekurangpuasan mantan pekerja tersebut dalam sistem pembayaran kompensasi pensiun bagi mantan pekerja, sehingga mereka mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.[9]
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menanggapi permohonan pailit yang diajukan pemohon pada Tanggal 4 September 2007, memutuskan bahwa PT. Dirgantara Indonesia sebagai BUMN yang bergerak dibidang kedirgantaraan di Indonesia dinyatakan Pailit. Dalam putusannya Majelis Hakim Adriani Nurdin Nomor: 41/Pailit/2007/PN. Niaga. Jkt.Pst. menilai PT. Dirgantara Indonesia belum melaksanakan butir ketiga putusan P4P Tanggal 29 Januari 2004, yaitu membayarkan kompensasi dana pensiun dan tunjangan hari tua yang sesuai perhitungan gaji pokok terakhir senilai Rp. 200 Milyar kepada 6.561 mantan pekerja PT. Dirgantara Indonesia yang diberhentikan sejak 31 Desember 2003.[10]
Sedangkan pada putusan Majelis hakim kasasi Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007, mengabulkan permohonan kasasi yang semula termohon permohonan pernyataan pailit PT Dirgantara Indonesia oleh pemohon permohonan (pekerja). Pada putusan Kasasi di Mahkamah Agung, hakim menolak permohonan pemohon pernyataan pailit.[11] Dengan ditolaknya putusan hakim Pengadilan Niaga oleh hakim Mahkamah Agung dengan alasan bahwa PT Dirgantara masuk dalam Badan Usaha Milik Negara yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Saham PT Dirgantara dimiliki oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Keuangan serta BUMN juga merupakan objek vital industri.
 Hakim kasasi juga memutuskan menerima permohonan kasasi yang diajukan PT Dirgantara karena permohonan pailit untuk perusahaan BUMN hanya bisa diajukan oleh Menteri Keuangan sebagai bendahara umum Negara, sesuai dengan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
Dengan dibatalkannya putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh Mahkamah Agung. Maka, proses yang sedang terjadi di Pengadilan Niaga, yakni penghitungan aset dan utang PT Dirgantara Indonesia kepada kreditur oleh kurator dapat dihentikan.[12]
Berdasarkan kasus permohonan pailit antara Heryono, dkk melawan PT Dirgantara Indonesia di atas, maka penulis membuat judul makalah : PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PAILIT YANG DIAJUKAN HERYONO, DAN KAWAN-KAWAN KEPADA PT DIRGANTARA INDONESIA DITINJAU DARI TEORI HUKUM POSITIVISME.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka diperoleh rumusan sebagai berikut :
1.      Bagaimana duduk perkara dan putusan Mahkamah Agung terhadap pailit yang diajukan Heryono, dan kawan-kawan kepada PT Dirgantara Indonesia ?
2.      Bagaimana Teori Hukum dan Analisa Putusan Kasasi PT Dirgantara Indonesia ?

A.    Duduk Perkara dan Putusan Mahkamah Agung terhadap Pailit yang diajukan Heryono, dan Kawan-Kawan Kepada PT Dirgantara Indonesia
Duduk perkara dalam perkara kepailitan yang diajukan Heryono, dan kawan-kawan terhadap PT Dirgantara Indonesia adalah sebagai berikut :
Para Pemohon adalah termasuk dari 6.561 orang pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh Termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (selanjutnya disebut Putusan P4 Pusat) No.142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 yang telah berkekuatan hukum tetap dengan nomor urut 332, 1742 dan 2082 dari lampiran Putusan P4P No.142/03/02- 8/X/PHK/I-2004 tanggal 29 Januari 2004 tersebut (Bukti P-1).
Amar III dari Putusan P4 Pusat tanggal 29 Januari 2004 tersebut berbunyi antara lain : Mewajibkan kepada Pengusaha PT.DIRGANTARA INDONESIA seperti tersebut pada amar I tersebut untuk memberikan kompensasi pensiun dengan mendasarkan besarnya upah Pekerja terakhir dan Jaminan Hari Tua sesuai dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1992 (vide Bukti P-1).
Dimana para Pemohon yaitu Heryono, Nugroho dan Sayudi, dengan jumlah nilai tagihan masing-masing sebesar Rp. 83.347.862,82 (delapan puluh tiga juta tiga ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus enam puluh dua rupiah poin delapan puluh dua), Rp. 69.258.079,22 (enam puluh sembilan juta dua ratus lima puluh delapan ribu tujuh puluh sembilan poin dua puluh dua) dan Rp. 74.040.827,91 (tujuh puluh empat juta empat puluh ribu delapan ratus dua puluh tujuh poin sembilan puluh satu) (Bukti P-2).
Kewajiban Termohon untuk membayar kompensasi pensiun kepada para Pemohon adalah merupakan hutang Termohon kepada para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (6) dari UUK, yang berbunyi : "Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur satu dan lainnya, vide pertimbangan hukum dalam Putusan No.25/Pailit/2007/PN.Jkt.Pst. tanggal 18 Juni 2007 dalam perkara antara PT.NAMYANG CHEMICAL INDONESIA lawan PT. TRUBA RAYA TRADING.
Hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak Putusan P4P tanggal 29 Januari 2004, terbukti : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. dengan surat No.B.169/DJPPK/IX/2004 tanggal 5 Oktober 2004 telah menegur Termohon dengan tembusan ditujukan antara lain kepada Ketua Serikat Pekerja FKK PT. DIRGANTARA INDONESIA untuk membayar dana pensiun dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat tersebut (Bukti P-3). Kepada Termohon telah diberikan teguran/peringatan berdasarkan Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 079/2005.EKS tanggal 14 Juni 2005 (Bukti P-4).  Telah ada hasil pertemuan tim kerja tindak lanjut hasil kesepakatan Direksi PT. DIRGANTARA INDONESIA (Persero) dan SP FKK PT. DIRGANTARA INDONESIA (Persero) tanggal 8 Mei 2006 (Bukti P-5). Namun hingga gugatan pailit ini diajukan tidak ada realisasi maupun pembayaran dari Termohon kepada para Pemohon.
Dengan tidak dilakukannya pembayaran oleh Termohon, walaupun hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka Termohon menurut UUK dapat dinyatakan pailit. Disamping para Pemohon, Termohon juga mempunyai hutang kepada :
Sdri. Nelly Ratnasari, Swasta, bertempat tinggal di Jalan Rajawali Timur No. 71/78, Bandung, sebesar ± Rp.12.701.489,25 (dua belas juta tujuh ratus satu ribu empat ratus delapan puluh sembilan poin dua puluh lima).
Sukriadi Djasa, Swasta, bertempat tinggal di Blok D-7/17 Rt.07/07, Marga Asih, Cimahi, sebesar ± Rp. 79.024.764,81 (tujuh puluh sembilan juta dua puluh empat ribu tujuh ratus enam puluh empat poin delapan puluh satu).
NELY RATNASARI dan SUKRIADI DJASA, yang berada dalam Daftar yang menggugat Dapen dan bersama-sama pekerja lain yang namanya tercantum dalam daftar tersebut (vide Bukti P-2) maupun seluruh pekerja lainnya yang total berjumlah 3.500 orang dengan total piutang sejumlah ± Rp.200.000.000.000.- (dua ratus milyar rupiah) (vide bukti P-5) akan menuntut piutang yang menjadi hak mereka dan semuanya akan hadir dan akan mengikuti persidangan ini selaku para kreditur dari Termohon.
BANK MANDIRI, beralamat di Plaza Mandiri Jalan Gatot Subroto Kav. 36-38, Jakarta, dengan piutang sebesar Rp.125.658.033.228.- (seratus dua puluh lima milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu dua ratus dua puluh delapan rupiah).
Dimana jumlah piutang para Pemohon maupun piutang-piutang tertulis di atas baru dapat diketahui secara pasti, apabila Termohon telah dinyatakan pailit dan diverifikasi dalam rapat pencocokan piutang para kreditur yang dipimpin oleh Hakim Pengawas dan Kurator nantinya.[13]
Selain dari duduk perkara yang sudah dijelaskan diatas. Adapun putusan hakim Mahkamah Agung yang berpendapat mengenai alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Termohon yang dapat dibenarkan, karena judex facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik”, sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham.
Pemohon Kasasi I / PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara, yang pemegang sahamnya adalah Menteri Negara BUMN Negara Republik Indonesia dan Menteri Keuangan Negara Republik Indonesia (bukti T1).
Perusahaan Perseroan / Persero, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, adalah badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara RI, atau badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara RI.
Terbaginya modal Pemohon Kasasi I / Termohon atas saham yang pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN Negara RI dan Menteri Keuangan Negara RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang, karena itu terbaginya modal atas saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara tidak membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I / Termohon adalah badan usaha milik negara yang tidak bergerak di bidang kepentingan publik.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No.03/MIND/PER/4/2005 (bukti T33) disebutkan bahwa PT. Dirgantara Indonesia adalah objek vital industri, dan yang dimaksud dengan objek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan Negara dan / atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perindustrian RI No.03 / M – IND / PER / 4 / 2005 tanggal 19 April 2005).
Oleh karena itu Pemohon Kasasi I / Termohon sebagai badan usaha milik negara yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara dan merupakan objek vital industri, adalah badan usaha milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004.
Lagi pula Pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak dan barang tidak bergerak milik Negara, sehingga kepailitan yang menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit, apabila kekayaan Debitur Pailit tersebut adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita, kecuali permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan Negara yang dipisahkan dan bendahara umum negara (Pasal 6 ayat (2) a jo Pasal 8 Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara).
Berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan kasasi lainnya dari Pemohon Kasasi I / Termohon maupun dari Pemohon Kasasi II / Kreditur Lain, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan kawan tersebut serta membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 4 September 2007 dan Mahkamah Agung juga mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini.
Oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi dikabulkan dan para Termohon Kasasi / para Pemohon adalah pihak yang kalah, maka para Termohon Kasasi / para Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan. Dan juga memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.[14]
B.     Teori Hukum dan Analisa Putusan Kasasi PT Dirgantara Indonesia
Istilah kepailitan secara etimologi berasal dari kata “pailit”, istilah “pailit” ditemukan dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Perkataan pailit berasal dari istilah “failliet” dalam bahasa Belanda yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat, atau pailit berasal dari kata “faillite” dalam bahasa Perancis yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis dinamakan “lefaili” (kata benda berarti gagal). Dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail”, dengan arti yang sama, dalam bahasa Latin disebut “failure”. Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata-kata “Bankrupt” dan “Bankruptcy”.
Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahapan insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap ini status debitor ditentukan. Dalam arti apakah hartanya dibagi-bagi untuk menutupi utang-utangnya, ataukah masih diberi kesempatan untuk mengurus asetnya. Dengan diterima suatu rencana perdamaian atau retrukturisasi utang, manakala debitor dinyatakan dalam keadaan insolvensi, maka ini berarti bahwa debitor sudah benar-benar pailit dan asetnya dapat segera dibagi-bagi kepada para kreditornya. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak dapat dilanjutkan.[15]
Menurut Jack P. Friedman,[16] yang dimaksud dengan insolvensi adalah :
-          Ketidaksanggupan debitor untuk memenuhi kewajiban finansial ketika utangnya jatuh waktu yang ditentukan dalam bisnis, atau
-          Kewajiban debitor lebih besar dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Dari pengertian di atas, maka orang hanya dapat dikatakan insolven jika pada suatu saat, uang atau aset yang dimilikinya jauh lebih sedikit dari jumlah utang-utangnya. Dengan kata lain, dia baru dapat dikatakan dalam keadaan insolvensi apabila keadaan kewajibannya melebihi aset-aset dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu.
Henry Cambell Black, MA : mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan insolvensi adalah, the condition of a person or business that is insolvent, inability or lack of means to pay debts (kondisi seseorang atau bisnis yang bangkrut, ketidakmampuan atau kurangnya sarana untuk membayar utang).[17] Sedangkan yang dimaksud dengan bankruptcy, adalah : the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debts, as they are, or become, due (keadaan atau kondisi seseorang (individu, kemitraan, korporasi) yang tidak mampu membayar utang-utangnya).[18]   
Debitor baru berada dalam keadaan insolven, manakala kondisi keuangannya menunjukkan jumlah utang-utangnya lebih besar ketimbang seluruh harta kekayaannya.[19] Debitor dapat dinyatakan pailit manakala tidak mampu membayar utangnya, setelah utang tersebut jatuh tempo. Apabila debitor dalam realitasnya masih mampu untuk membayar utangnya maka tidak adil apabila debitor dinyatakan pailit.[20] Sehingga dengan jelas dapat dibedakan antara tidak dapat (tidak mampu) dan tidak mau membayar utang. Tidak dapat (tidak mampu) membayar terkait dengan keadaan keuangannya, sedangkan tidak mau membayar terkait dengan itikad baiknya atau terkait dengan mora creditors.[21]
Dengan dapat dinyatakan pailit oleh pemohon kepada termohon terkait dengan keuangannya, apabila dihubungankan dengan pemikiran Lawrence M. Friedman, mengenai sistem hukum itu sendiri dalam realitasnya mempunyai beberapa aspek, sehingga karenanya agar fungsi hukum dapat berjalan secara efektif dan efisien, hendaklah aspek-aspek hukum tersebut perlu diberdayakan yang meliputi : Substansi Hukum (The Legal Substance), Struktur Hukum (The Legal Struktur), dan Budaya Hukum (The Legal Culture).[22]
Substansi Hukum (The Legal Substance), yakni keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat yang tertata dalam suatu sistem, yang berlaku dalam masyarakat dan disebut tatahukum.[23] Dalam hubungannya dengan hukum kepailitan, keseluruhan azas-azas dan kaidah hukum kepailitan yang berlaku tertata dalam suatu sistem tentang tuntutan pelunasan pembayaran piutang  kreditor terhadap debitor yang tidak mampu membayar utangnya, pada waktu utang tersebut telah jatuh waktu.
Azas hukum kepailitan yang berlaku menyatakan, bahwa kreditor dalam melakukan penuntutan pelunasan pembayaran piutangnya harus didasarkan pada ketidaksanggupan debitor untuk memenuhi kewajiban finansial ketika utangnya jatuh waktu yang ditentukan dalam bisnis dan kewajiban debitor lebih besar dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Dari azas tentang hukum kepailitan sebagaimana dikemukakan diatas, maka kreditor hanya dapat mengajukan tuntutan pelunasan piutangnya terhadap debitor, manakala pada suatu saat, uang atau aset yang dimiliki debitor jauh lebih sedikit dari jumlah utang-utangnya. Dengan perkataan lain, debitor baru dapat dituntut pelunasan pembayaran utangnya yang jatuh waktu, dengan permohonan agar debitor dinyatakan pailit manakala keadaan kewajibannya melebihi aset-asetnya dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu.[24]
Struktur hukum (The Legal Struktur), yakni keseluruhan orang-orang yang menjalankan fungsi untuk mewujudkan hukum yang mencakup kegiatan pembentukan hukum, penerapan dalam penegakan hukum, dan pengembangan hukum.[25] Hakim Pengadilan Niaga dalam menjalankan fungsi untuk mewujudkan hukum kepailitan yang semula berlaku umum (Hukum Inabstraksto) untuk kemudian berlaku secara khusus (Hukum Inkronkreto), dengan menerapkan terhadap kasus-kasus konkrit tentang sengketa kepailitan. Penerapan tersebut dalam pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusannya tidak saja mendasarkan pada pertimbangan terhadap ketentuan hukum secara tekstual, sinkronis, dan legistis, akan tetapi juga secara kontekstual, diakronis dan legalistis. Sehingga putusan hakim Pengadilan Niaga tidak saja untuk kepentingan debitor, para stakeholders, dan seluruh kepentingan masyarakat.
Budaya Hukum (The Legal Culture), yakni mencakup keseluruhan putusan-putusan dan perilaku para pejabat dan warga masyarakat sejauh berkaitan dengan sistem makna juridik.[26] Dalam hubungannya dengan sistem hukum kepailitan yang sekarang berlaku, masyarakat berperilaku mempercayai terhadap putusan-putusan Hakim Pengadilan Niaga, manakala putusan-putusan Hakim Pengadilan Niaga dilandasi oleh kemampuan terhadap epistimologi hukum kepailitan dan integritas moral yang tinggi.[27]  
Dari sistem hukum yang dalam realitasnya mempunyai 3 (tiga) aspek yang sudah dijelaskan di atas, yakni Substansi Hukum (The Legal Substance), Struktur Hukum (The Legal Struktur), dan Budaya Hukum (The Legal Culture). Sistem hukum dalam realitasnya juga banyak diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law (anglo-saxon law) maupun civil law (continental law), yang hukum sendiri diberikan pengertian sebagai :
Positivisme hukum (legal positivism). Aliran Positivisme Hukum memang hanya mau mendasarkan diri pada sistem hukum positif itu sendiri. Secara ekstrim aliran Positivisme Hukum akan menyatakan, “Kita harus mematuhi (kaidah) hukum, karena ia adalah (kaidah) hukum.
Menurut pemikiran Ad Peperzak, bahwa di dalam kerangka suatu sistem aturan-aturan hukum positif, perkataan baik, benar dan adil, berarti sesuai dengan hukum atau sah (lawful), dan dengan sendirinya perkataan buruk, salah dan tidak adil berarti melawan hukum atau tidak sah (unlawful).[28]  
John Austin mendefinisikan hukum : A rule laid down for the guidance of an intelligent being having power over him.[29] Selanjutnya John Austin mengemukakan, bahwa : The positive law, or “law properly so cold”, which remains, is characterised by four element command, sanction, duty and sovereinity (Hukum positif, atau "hukum yang dianggap benar", yang tetap, ditandai oleh empat unsur perintah, tugas, sanksi dan larangan).[30]
Menurut pemikiran Lon Fuller, aspek internal moralitas hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana yang memungkinkan aspek eksternal moral hukum dapat diwujudkan, apabila dapat mewujudkan tuntutan moral terhadap hukum yang harus dipenuhi agar hukum berfungsi dengan baik dan adil.[31] Sehingga dengan berfungsinya Hukum Kepailitan untuk dapat menjadi sarana dalam mewujudkan hukum yang baik dan adil, dengan mendasarkan pada pengakuan dan penghormatan atas martabat debitor, maka Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dapat menjadi ketentuan hukum yang kokoh (rigorous) ditinjau dari aspek kepastian hukum (legalitas).[32]
Sehingga apabila kita hubungankan dengan kasus kepailitan di atas, maka konsep hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto, dari lima konsep hukum yang ada, ada dua konsep hukum yang sesuai dengan kasus kepailitan PT Dirgantara, yaitu : Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional, dan Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law.[33]
Oleh karena itu, untuk analisa putusan hakim Mahkamah Agung terhadap kasus pailit yang diajukan heryono, dan kawan-kawan kepada PT Dirgantara Indonesia, maka digunakanlah teori H. Ph. Visser’t Hooft, yaitu hakim dalam menerapkan hukum harus berorientasi pada 3 (tiga) acuan dasar yang dalam setiap tata hukum bekerja, pada waktu yang bersamaan, yakni: positivitas, koherensi, dan keadilan.[34]
Positivitas. Dalam pengacuan pada hukum, sebagai putusan lembaga peradilan, hakim memiliki otoritas untuk menemukan argumen-argumen yang secara historis menjadi kehendak pembentuk undang-undang dalam membentuk hukum positif.
Dalam hubungannya dengan hukum kepailitan, dalam melakukan analisa terhadap kasus kepailitan yang telah diputus oleh hakim akan meninjau, apakah hakim Pengadilan Niaga menggunakan metode dengan mengemukakan argumen-argumen yang secara historis menjadi kehendak pembentuk undang-undang tentang kepailitan pada waktu membentuknya.
Koherensi. Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, hakim memiliki otoritas tidak saja terhadap adanya saling bertautan di antara aturan-aturan, tetapi juga adanya koherensi di antara aturan-aturan hukum.
Dalam hubungannya dengan hukum kepailitan, dalam melakukan analisa terhadap putusan hakim pada kasus kepailitan, akan meninjau, apakah hakim Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus terhadap kasus kepailitan, menggunakan metode dengan membandingkan terhadap peraturan perundang-undangan tentang apa yang dimaksud dengan wanprestasi.
Keadilan. Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, putusan hakim dapat dikategorikan adil, manakala dapat diterima dalam perspektif keyakinan-keyakinan masyarakat kontemporer.
Parameter yang digunakan hakim sebagai acuan dalam pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusannya adalah apakah kepentingan seluruh masyarakat pada positivitas, koherensi dan keadilan akan menjadi terpenuhi, manakala hakim dalam menerima, memeriksa dan memutus kasus kepailitan tidak hanya mendasarkan pada penerapan ketentuan hukum kepailitan secara tekstual, sinkronis dan legistis. Akan tetapi juga mendasarkan pada penerapan secara kontekstual, diakronis dan legalistis. Yang dimaksud dengan kontekstual, diakronis, dan legalistis disini adalah kasus kepailitan yang diterima, diperiksa dan diputus oleh hakim dengan mempertimbangkan apakah kasus yang diajukan tersebut dilakukan sebelum atau sesudah gejolak moneter tahun 1997-1998.[35] 
Maka untuk analisa yang mengacu kepada teori H.Ph. Visser’t Hooft, bahwa pertimbangan yang menjadi dasar putusannya mempertimbangkan tiga acuan dasar yang pada setiap ketentuan hukum bekerja pada waktu bersamaan, yakni ; Positivitas, Koherensi dan Keadilan. Apabila teori H.Ph. Visser’t Hooft dihubungkan dengan analisa putusan hakim di Mahkamah Agung terhadap pailit yang diajukan Heryono, dan kawan-kawan kepada PT Dirgantara Indonesia adalah sebagai berikut :
POSITIVITAS. Dalam perkara kepailitan PT Dirgantara Indonesia melawan Heryono, dkk. Pemohon dalam hal ini mengajukan dan mendaftarkan permohonan kepailitan PT Dirgantara Indonesia kepada Kepaniteraan Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 25 Oktober 2007, yakni diajukan setelah dapat dikendalikan gejolak moneter tahun 1997-1998. Oleh karena itu Faillissements-verordening S.1905-217 jo S.1906 – 348 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman pada gejolak moneter setelah tahun 1997-1998. Dan untuk menyesuaikan kasus kepailitan yang diajukan pada tanggal 25 Oktober 2007 kepada Kepaniteraan Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka digunakanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman setelah tahun 1997-1998.
KOHERENSI. Dalam perkara pailit PT Dirgantara Indonesia telah terjadi koherensi antara peraturan perundang-undangan tentang syarat-syarat permohonan pailit dalam kaitannya dengan diharuskannya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana. Sehingga dalam putusan hakim di Pengadilan Niaga, hakim sudah memutus sesuai dengan bunyi yang ada di dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Dan Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana”.
Oleh karena itu putusan hakim Pengadilan Niaga menyatakan, pemohon dapat dinyatakan pailit sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Berbeda dengan putusan hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum judex facti, karena sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 menyatakan bahwa “dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”.
Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik”, sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, adalah “badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham”.
Perseroan / Persero, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, adalah “badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara RI, atau badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara RI”.
Terbaginya modal Pemohon Kasasi I / Termohon atas saham yang pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN Negara RI dan Menteri Keuangan Negara RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang “mewajibkan pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang”.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No.03/MIND/PER/4/2005 disebutkan bahwa PT Dirgantara Indonesia adalah objek vital industri, dan yang dimaksud dengan “objek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan Negara dan / atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis” (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perindustrian RI No.03 / M – IND / PER / 4 / 2005 tanggal 19 April 2005).
Oleh karena itu Pemohon Kasasi I / Termohon sebagai “badan usaha milik negara yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara dan merupakan objek vital industri, adalah badan usaha milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004.
Pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara “melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak dan barang tidak bergerak milik Negara”. Sehingga kepailitan yang menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan “sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit, apabila kekayaan Debitur Pailit tersebut adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita, kecuali permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan Negara yang dipisahkan dari bendahara umum Negara” (Pasal 6 ayat (2) a jo Pasal 8 Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara).
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia dan diseluruh dunia bahwa definisi pailit adalah aset lebih kecil dari pada utang, karena tidak mungkin PT Dirgantara Indonesia yang mempunyai aset lebih besar dari pada utang dapat dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga.   
KEADILAN. Dalam perkara ini putusan Hakim Kasasi adalah putusan yang adil, karena putusan ini dapat diterima baik oleh masyarakat bisnis, maupun masyarakat pada umumnya. Demikian pula dapat diterima oleh kalangan awam maupun oleh dunia akademis.

Simpulan
1.      Putusan Mahkamah Agung Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007 mendasarkan pada syarat-syarat pailit sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2.      Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3.      Putusan Mahkamah Agung Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007 telah memenuhi tiga acuan dasar yang pada setiap ketentuan hukum bekerja pada waktu bersamaan sebagaimana dikemukakan oleh H. Ph. Visser’t Hooft, yakni POSITIVITAS, KOHERENSI dan KEADILAN.
 Saran
Untuk menghindarkan perbedaan dalam menerapkan pasal hendaknya syarat-syarat pailit sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hendaknya direvisi karena dalam pengertian pasal ini debitor yang masih mampu untuk membayar hutang-hutangnya pun dapat dinyatakan pailit walaupun mempunyai aset yang lebih banyak dan perusahaannya masih aktif menjalankan usaha.

Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. dan  Subchi Eko Putro S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)
[1] Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, penerbit : Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 29.
[2] Ibid., hlm. 28.
[3] Djohansyah, J, dalam Penyelesaian Utang atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A. Lontoh, penerbit : Alumni, 2001, Bandung, hlm 23.
[4] Ibid., hlm.22.
[5] Ibid., hlm.22.
[6] Vide pasal 1 FV (Faillissements-verordening).
[7] Arbijoto, Ringkasan Disertasi “Kepastian, Keadilan, dan Manfaat Undang-Undang Kepailitan Indonesia bagi Debitor dan Kreditor” (Suatu Tinjauan Yuridis Filosofis tentang Syarat-Syarat Kepailitan Undang-Undang Kepailitan Indonesia), Program Doktor, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. hlm.4. 
[8] Lihat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[9] K Puspitasari dan D Rachardono, dalam artikel yang berjudul “Kepailitan PT. Dirgantara Indonesia”, hlm. 8. Diakses pada Kamis, 4 Oktober 2007.
[10] K Puspitasari dan D Rachardono, op cit, hlm. 8.
[11] Arbijoto, op cit, hal. 129.
[12] http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/10/24/brk,20071024-110033,id.html
[13] Ringkasan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007.
[14] Ibid.,
[15] Arbijoto, loc cit. hlm.17.
[16] Jack P Friedman, Dictionary of Business Term, New York, USA, Barron’S Educational Series, Inc, 1987, hlm. 289.
[17] Henry Cambell Black, Black Law Dictionary, Penerbit West Publishing Co, Sixth Edition, USA, 1980, hlm. 797.
[18] David G. Epstein, Steve H Nickles, Jamers J. White, Bankruptcy, penerbit : Horn Book Series, Western Publishing Co, ST. Paul, Minesotta, 1993, hlm. 306.
[19] David G. Epstein, Steve H Nickles, Jamers  J. White, Op Cit.
[20] Thomas H. Jacson, The Logic and Limits of Bankruptcy Law, England : Harvard University Press, Cambridge, 1986. hlm. 198.
[21] Arbijoto, loc.cit. hlm. 18-19.
[22] Lawrence M. Friedman, American Law, Standford Univercity, W.W. Norton & Company, New York – London, 1984, page 5 -8.
[23] Arief Sidharta, Sistem Hukum, Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2007, hlm. 76.
[24] Jack P. Friedman, op.cit, hlm. 289.
[25] Arief B. Sidharta, op.cit.
[26] Ibid.,
[27] Arbijoto, loc.cit. hlm. 16-17.
[28] Arief Sidharta, dalam Pandangan Ad Peperzak, Tentang Hukum dan Moralitas, Penerbit : Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2008, hlm. 1.
[29] Friedmann, W. Legal Theory. Fifth Edition, Universal Law Publishing Co, Pvt, Ltd, Second Indian Reprint 2002, page 258.
[30] Ibid., page. 258.
[31] B. Arief Shidarta, dalam Ethika Hukum, Penerbit : Laboraturium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2008, hlm. 8.
[32] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Penerbit : Universitas Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004, hlm. 62.
[33] Setiono, Pemahaman Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010. hlm. 20.
[34] H.Ph. Visser’t Hooft. Filsafat Ilmu Hukum, Filosofie de Rechtswetenschap, terjemah B. Arief Sidharta, Penerbit Laboraturium Hukum Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2003, hlm. 53-57.
[35] Arbijoto, loc.cit. hlm.28-29.