AL HIDAYAH FM

Sabtu, 28 Januari 2012

PENYELESAIAN KASUS PAILIT YANG DIAJUKAN OLEH PT KODECO BATULICIN PLYWOOD KEPADA PT KODECO TIMBER DI PENGADILAN NIAGA SAMPAI DENGAN MAHKAMAH AGUNG


A.    Latar Belakang Masalah
Gejolak moneter yang mulai terjadi pada bulan Juli 1997 di Indonesia, mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Kondisi ini telah menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap kreditor luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan sebagian besar debitor tidak mampu membayar utang-utangnya.[1]
Situasi di atas memaksa masyarakat kreditor mencari-cari sarana yang dapat digunakan untuk mendapatkan tagihannya dengan memuaskan, sementara itu Peraturan Kepailitan yang ada yaitu Failliissement-verordening tidak dapat diandalkan (tidak memadai) lagi untuk mencapai tujuan memperoleh kembali apa yang menjadi haknya untuk menyelesaikan masalah kepailitan.
Berdasarkan hal tersebut, International Monetary Fund (IMF) mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya. Desakan IMF itu ditanggapi Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 (PERPU Kepailitan).[2] Setelah beroperasi selama kurang lebih 6 (enam) tahun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Masalah utama dewasa ini, para hakim dalam praktik menerapkan Undang-Undang Kepailitan secara legistis, mendasarkan pada “syarat-syarat pailit” sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Sebagaimana juga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang digantikannya, sedangkan “syarat-syarat pailit” tersebut tidak rasional, karena permohonan kepailitan dapat diajukan dan putusan pailit oleh Pengadilan Niaga dapat diajukan terhadap debitor yang masih solven.
Sebagaimana diketahui, sebelum gejolak moneter tahun 1997, Indonesia telah memiliki peraturan kepailitan, yaitu Faillissements-verordening S.1905-217 jo S.1906 – 348. Sekalipun sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai saat  Faillissements-verordening tersebut diubah dan ditambah, syarat-syarat kepailitan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 peraturan kepailitan tersebut tidak pernah dipermasalahkan oleh dunia usaha. Menurut Pasal 1  Faillissements-verordening tersebut, syarat untuk dapat mengajukan permohonan pailit adalah “setiap debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit”.
Syarat-syarat pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1  Faillissements-verordening tersebut hanya memberikan kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang telah berada dalam keadaan berhenti  membayar kembali utang-utangnya. Artinya, debitor tersebut telah dalam keadaan insolven.
Ketentuan mengenai syarat pailit sebagaimana dimaksud sebelum diatur dalam Faillissements-verordening, diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang terpisah bagi pedagang. Bagi pedagang termuat dalam peraturan tentang ketidak mampuan pedagang, yakni dalam Wet Boek van Koophandel (WvK), buku ketiga yang berjudul van de voorziening in geval van onvermogen van kooplieden. Sedang bagi orang-orang bukan pedagang, termuat dalam peraturan tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu, yakni dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv), staatblad tahun 1847 nomor 52 juncto staatblad tahun 1949 nomor 63, buku ketiga, bab ketujuh yang berjudul Den staat van kennelijk onvermogen Pasal 899 sampai dengan 915.[3]   
Dari sejarah sebelum diaturnya syarat-syarat pailit dalam Faillissements-verordening, meskipun masih terpisah, namun telah menyatakan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit, baik bagi pedagang maupun bagi bukan pedagang, sebagaimana dapat dilihat dari kedua judul ketentuan syarat-sayarat pailit yakni WvK dan Rv yang berlaku pada waktu itu, adalah tidak mempunyai (onvermogen) seseorang untuk membayar utangnya.
Setelah tidak dipisahkan lagi ketentuan tentang syarat-syarat pailit bagi pedagang dan bukan pedagang, maka yang dimaksud dalam Faillissements-verordening (Fv) dengan setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali utang, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Faillissements-verordening, adalah setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali utangnya, karena tidak mampu membayar utangnya, yang terjadi karena keadaan finansialnya atau aset yang tidak cukup.[4]   
Sejak diberlakukannya undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian diganti dengan undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka debitor yang masih dalam keadaan solven-pun juga dapat dimohonkan oleh kreditor untuk dinyatakan pailit asal memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Berdasarkan pasal tersebut, seorang debitor dapat dinyatakan pailit jika mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.[5]
Permasalahan mengenai syarat-syarat pailit baru muncul setelah dibentuknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian telah diterima dan disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut bukan sekedar menggantikan Faillissements-verordening tetapi mengubah dan menambah isinya. Termasuk yang diubah dari Faillissements-verordening adalah syarat-syarat kepailitan yang disebutkan dalam Pasal 1 Faillissements-verordening.[6] Bunyi syarat-syarat kepailitan diubah menjadi berbunyi, “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.
Dengan diubahnya syarat-syarat pailit tersebut, maka bukan hanya debitor insolven saja yang dapat diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga tetapi juga debitor yang masih solven. Perubahan syarat-syarat pailit tersebut telah menjadi ancaman bagi perkembangan dunia usaha, yang lebih lanjut tidak mustahil dapat menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional.
Sangat disayangkan, ternyata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang menggantikan undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 masih mengadopsi syarat-syarat pailit yang tidak berbeda dengan syarat-syarat pailit menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut. Syarat-syarat pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih kreditornya”.[7]
Seperti dalam piutang inter group/afiliasi debitur pailit kepada Termohon (PT Kodeco Timber), sesuai laporan keuangan PT. Kodeco Batulicin Plywood (dalam pailit) untuk tahun yang berakhir 19 Oktober 2003 dan laporan auditur independen oleh Abdul Aziz, Auditur Independen yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas atas permintaan Kurator debitur pailit, sebesar Rp. 62.569.960.425,- (enam puluh dua milyar lima ratus enam puluh sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu empat ratus dua puluh lima rupiah). Dan hutang lainnya CV. Putra Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 35.470.000,-, UD. Pentaco Adhikarsa per Agustus 2002 sebesar Rp. 172.686.500,-, PD. Mercury Power Engineering per Mei 2002 sebesar Rp. 24.043.000,-, UD. Tirta Sari Mulia Jaya dan Tirta Sari Utama per Agustus 2001 Rp. 5.250.000,-, Metalindo per Mei 2003 sebesar US$ 1,420,-, UD. Bina Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 3.586.500,- dan hutang yang telah jatuh tempo kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Yaitu KMK Ekspor, maksimum sebesar USD 403.769, KMK Aflopend, maksimum sebesar USD 1.395.151, Interest Baloon Payment, maksimum sebesar Rp. 2.819.246.992,-.[8]
Berdasarkan kasus permohonan pailit PT Kodeco Batulicin Plywood melawan PT Kodeco Timber di atas, maka penulis membuat judul makalah : PENYELESAIAN KASUS PAILIT YANG DIAJUKAN OLEH PT KODECO BATULICIN PLYWOOD KEPADA PT KODECO TIMBER DI PENGADILAN NIAGA SAMPAI DENGAN MAHKAMAH AGUNG.

B.     Permasalah
Penulis angkat dalam makalah ini adalah mengenai duduk perkara yaitu : bahwa Pemohon melalui Kuasa Hukumnya telah mengajukan permohonannya tertanggal 01 Nopember 2004 yang didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 01 Nopember 2004 dibawah Daftar Nomor: 044/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT.PST telah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
1.   Bahwa sesuai putusan Mahkamah Agung RI No. 010 PK/N/ 2003 tanggal 20 Oktober 2003, PT. KODECO BATULICIN PLYWOOD (debitur pailit) telah dinyatakan dalam keadaan pailit dan telah ditunjuk Hariyati, SH sebagai Kuratornya (Bukti P-1) dan untuk tindakan hukum ini telah memperoleh izin dari Hakim Pengawas (Bukti P-2) ;
2.   Bahwa dalam menjalankan kewenangan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, tercatat adanya piutang inter group/afiliasi debitur pailit kepada Termohon, sesuai laporan keuangan PT. KODECO BATULICIN PLYWOOD (dalam pailit) untuk tahun yang berakhir 19 Oktober 2003 dan laporan auditur independen oleh Abdul Aziz, Auditur Independen yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas atas permintaan Kurator debitur pailit, sebesar Rp. 62.569.960.425,- (enam puluh dua milyar lima ratus enam puluh sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu empat ratus dua puluh lima rupiah) (Bukti P-3);
3.   Bahwa Termohon mengakui adanya piutang debitur pailit, sebagaimana dapat dibaca dari Report of financial statement PT. Kodeco Timber as of Desember 31, 2002 (Bukti P-4) ;
4.   Bahwa pinjaman Inter Group Batulicin dari Termohon sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dan hal mana telah disampaikan kepada Termohon oleh Pemohon dengan surat No. 54/DH/KP/ V/2004 tanggal 4 Mei 2004 (Bukti P-5) agar pinjaman tersebut diselesaikan karena akan dimasukkan ke dalam harta pailit yang nantinya dipergunakan untuk membayar hutang debitur pailit kepada para kreditur yang terdaftar dan diakui satu dan lain sesuai daftar hutang PT. KODECO BATULICIN PLYWOOD (dalam pailit) yang diakui tanggal 6 September 2004 yang telah ditandatangani oleh Hakim Pengawas, Agus Subroto, SH. MH., dan Kurator Hariyati, SH (Bukti P-6) ;
5.   Bahwa sejak surat tersebut dikirimkan oleh Pemohon kepada Termohon, hingga kini tidak ada tanggapan dari Termohon dan di lain pihak kepentingan hukum Pemohon sudah mendesak untuk segera melakukan pembayaran hutang-hutang debitur pailit terhadap para krediturnya sesuai Bukti P-6 ;
6.   Bahwa Termohon di samping mempunyai hutang kepada Pemohon, juga mempunyai hutang yang telah jatuh tempo kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (Bukti P-7), berupa :
-     KMK Ekspor, maksimum sebesar USD 403.769,      
-     KMK Aflopend, maksimum sebesar USD 1.395.151,
-     Interest Baloon Payment, maksimum sebesar Rp. 2.819.246.992,-
Juga hutang-hutang dagang yang telah jatuh tempo, dimana tagihan tersebut telah diajukan oleh kreditur-kreditur yang bersangkutan kepada Kurator debitur pailit dan ditolak dan proses pencocokan utang karena merupakan hutang pihak lain (Termohon), diantaranya kepada :
6.1.CV. Putra Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 35.470.000,- (Bukti P-8) ;
6.2.UD. Pentaco Adhikarsa per Agustus 2002 sebesar Rp. 172.686.500,- (Bukti P-9) ;
6.3.PD. Mercury Power Engineering per Mei 2002 sebesar Rp. 24.043.000,- (Bukti P-10)
6.4.UD. Tirta Sari Mulia Jaya dan Tirta Sari Utama per Agustus 2001 Rp. 5.250.000,- (Bukti P-11) ;
6.5.Metalindo per Mei 2003 sebesar US$ 1,420 (Bukti P-12) ;
6.6.UD. Bina Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 3.586.500,- (Bukti P-13) ;
7.   Bahwa kondisi Termohon memang sudah tidak memungkinkan lagi berusaha, karena historis antara debitur pailit dan Termohon adalah satu group terbukti dari pinjaman Inter Group (vide bukti-bukti P-3, P-4 dan P-5) yang satu dengan lain saling melengkapi, sehingga dengan pailitnya debitur pailit berimbas pula bagi Termohon, sehingga jangankan hutang yang besar yang kecil pun tidak sanggup dilunasi oleh Termohon (vide Bukti-bukti P-8 sampai dengan P-13) ;
8.   Bahwa dari uraian-uraian diatas telah terdapat fakta dan terbukti secara sederhana, bahwa
-     Termohon adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur ;
-     Termohon adalah debitur yang tidak membayar sedikitnya satu utang ;
-     Hutang-hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditarik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan ;
9.   Bahwa untuk kepentingan pemberesan harta pailit dan diperlukannya seorang Kurator guna melakukan tugas dan kewenangan Kurator sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan, maka Pemohon mengusulkan kepada Majelis Hakim untuk mengangkat :[9]
Berdasarkan duduk perkara yang telah dijelaskan di atas, maka diperoleh rumusan sebagai berikut :
·         Bagaimana Penyelesaian Kasus PT Kodeco Batulicin Plywood melawan PT Kodeco Timber di Pengadilan Niaga sampai dengan Mahkamah Agung?

C.    Analisa
Oleh karena itu untuk menganalisa kasus PT Kodeco Batulicin Plywood melawan PT Kodeco Timber digunakanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan tidak menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, Faillissent-verordening staatblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto staatblad Tahun 1906 No.348. Karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan jaman setelah gejolak moneter ditahun 1997-1998. Dan Pemohon melalui Kuasa Hukumnya telah mengajukan permohonannya tertanggal 01 Nopember 2004 yang didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 01 Nopember 2004 dibawah Daftar Nomor: 044/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT.PST telah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon (PT Kodeco Timber), oleh karena itu digunakanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai bahan analisis yang legistis dan tekstual dalam menyesuaikan perkembangan jaman bahwa perkara tersebut diajukan ditahun 2004. 
Menurut H. Ph. Visser’t Hooft, ada tiga yang menjadi acuan dasar dalam analisis yaitu :
POSITIVITAS. Dalam putusan pengadilan Niaga Nomor 044/Pailit/2004/PN.Niaga. Jkt.Pst. hakim memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak karena tidak bisa dibuktikan secara sederhana oleh pemohon (PT Kodeco Batulicin Plywood) karena laporan keuangan ini lebih berupa pernyataan sepihak tanpa adanya pengakuan dari pihak yang berhutang yaitu Termohon dan tidak didukung dengan bukti-bukti lain, dengan kata lain jumlah hutang Termohon sebesar Rp. 62.569.960.425,- (enam puluh dua milyar lima ratus enam puluh sembilan juta sembilan enam puluh juta empat ratus dua puluh lima rupiah) masih perlu dibuktikan asal usul timbulnya hutang, karenanya dapat disimpulkan laporan keuangan tersebut (bukti P-3) tidak mempunyai kekuatan pembuktian tentang utang Termohon kepada PT. Kodeco Batulicin Plywood, sehingga pembuktian tentang adanya hutang menjadi tidak sederhana sehingga PT Kodeco Batulicin Plywood tidak bisa dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga.
Mengenai adanya utang merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti secara sederhana (vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU), sebagaimana telah dipertimbangkan diatas bahwa utang tersebut tidak dapat terbukti secara sederhana, oleh karenanya persyaratan untuk menyatakan Termohon pailit tidak terpenuhi, dengan demikian Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum maka permohonan dinyatakan ditolak untuk seluruhnya di Pengadilan Niaga.
Permohonan dinyatakan tidak beralasan menurut hukum karena bukti-bukti permohon pemohon tidak bisa membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain untuk dibuktikan secara sederhana, yang ketentuan terdapat di dalam pasal 2 ayat (1), pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sedangkan putusan hakim Mahkamah Agung Nomor 02 K/N/2005 memutuskan bahwa menguatkan pendapat Pengadilan Niaga untuk tidak memailitkan PT Kodeco Timber dan menolak permohonan pemohon (PT Kodeco Batulicin Plywood).
KOHERENSI. Harus ada sinkronisasi titik taut antara aturan legistis yang terdapat di dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dengan putusan hakim Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung. Yang dalam pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti secara sederhana (vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU), sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa utang tersebut tidak dapat terbukti secara sederhana, oleh karenanya persyaratan untuk menyatakan Termohon pailit tidak terpenuhi, dengan demikian Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum maka permohonan dinyatakan ditolak untuk seluruhnya di Pengadilan Niaga. Padahal dalam kenyataannya PT Kodeco Timber berhutang kepada kreditor yaitu; PT Kodeco Batulicin Plywood sebesar Rp. 62.569.960.425,-. hutang lainnya CV. Putra Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 35.470.000,-, UD. Pentaco Adhikarsa per Agustus 2002 sebesar Rp. 172.686.500,-, PD. Mercury Power Engineering per Mei 2002 sebesar Rp. 24.043.000,-, UD. Tirta Sari Mulia Jaya dan Tirta Sari Utama per Agustus 2001 Rp. 5.250.000,-, Metalindo per Mei 2003 sebesar US$ 1,420,-, UD. Bina Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 3.586.500,- dan hutang yang telah jatuh tempo kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Yaitu KMK Ekspor, maksimum sebesar USD 403.769, KMK Aflopend, maksimum sebesar USD 1.395.151, Interest Baloon Payment, maksimum sebesar Rp. 2.819.246.992,-. Dan tidak terjadi kesesuaian antara pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti secara sederhana (vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU), dengan fakta dilapangan bahwa debitor berhutang lebih dari pada 1 kreditor. Walaupun termohon bisa lebih dari 1 kreditor, tetapi dalam laporan keuangan permohonan pailit yang diajukan pemohon ke persidangan dan tidak ada aslinya, maka tidak dianggap sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa definisi pailit secara sederhana adalah bahwa aset lebih kecil dari pada hutang. Dan untuk PT  Kodeco Batulicin Plywood dalam perkara di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung terbukti perkara selalu dimenangkan oleh PT  Kodeco Batulicin Plywood. Yang dalam fakta persidangan, bahwa PT Kodeco Batulicin Plywood mempunyai aset lebih besar dari pada utang dan tidak bisa dipailitkan, oleh lawan-lawannya yaitu; PT Kodeco Timber, CV. Putra Jaya. UD. Pentaco Adhikarsa, PD. Mercury Power, UD. Tirta Sari Mulia Jaya, Tirta Sari Utama, Metalindo, UD. Bina Jaya dan PT. Bank Negara Indonesia (Persero), yang tidak bisa membuktikan laporan keuangan secara asli.
Sedangkan apabila kita kembali lagi kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun RI Nomor 029 K/N/2001 tanggal 05 September 2001 yang berbunyi: “bahwa neraca atau laporan tidak bisa membuktikan adanya kreditor lain dari termohon pailit” dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 06 K/N/2003 tanggal 15 April 2003 yang berbunyi: “laporan keuangan dari termohon pailit yang diajukan oleh pemohon ke persidangan dan tidak ada aslinya, maka tidak dianggap sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain”.
Maka perkara kepailitan tersebut tidak dapat diperiksa dengan pembuktian sederhana, sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004.
KEADILAN. Seharusnya antara isi pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti secara sederhana (vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU), yang harus ada kesesuaian dengan putusan hakim di Pengadilan Niaga dan hakim di Mahkamah Agung supaya terjadi keadilan dan objektivitas diantara para pihak yang berperkara baik oleh PT Kodeco Batulicin Plywood dan PT Kodeco Timber. Sudah terbukti fakta dilapangan bahwa laporan keuangan dari termohon pailit yang diajukan pemohon ke persidangan dan tidak ada aslinya, maka tidak dianggap sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain. Dan putusan yang dijatuhkan hakim pengadilan niaga dan hakim mahkamah agung dirasa objektif dan adil bagi para pihak yang berperkara.

4.      Kesimpulan/Usul
Hakim Pengadilan Niaga dan Hakim Mahkamah Agung sudah memutuskan dalam putusannya bahwa PT Kodeco Batulicin Plywood tidak dapat dinyatakan pailit oleh PT Kodeco Timber karena hakim sudah memutus dengan objektif bukti dan fakta yang ada dilapangan bahwa laporan keuangan dari termohon pailit yang diajukan pemohon ke persidangan dan tidak ada aslinya, maka tidak dianggap sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain. Sehingga hakim jangan melihat legistis apa yang ada di dalam UU Kepailitan, tetapi juga perlu melihat lebih teliti fakta dan kenyataan yang ada dilapangan bahwa bukti laporan keuangan yang diajukan pemohon tidak asli, sehingga ada kesesuaian antara UU Kepailtan dan bukti yang ada. 

 Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)                 

[1] Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, penerbit : Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 29.
[2] Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit., hlm. 28.
[3] Djohansyah, J, dalam Penyelesaian Utang atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A. Lontoh, penerbit : Alumni, 2001, Bandung, hlm 23.
[4] Djohansjah, J. op cit. hlm.22.
[5] Djohansjah, J. Op Cit. hlm.22.
[6] Vide pasal 1 FV.
[7] Arbijoto, Ringkasan Disertasi “Kepastian, Keadilan, dan Manfaat Undang-Undang Kepailitan Indonesia bagi Debitor dan Kreditor” (Suatu Tinjauan Yuridis Filosofis tentang Syarat-Syarat Kepailitan Undang-Undang Kepailitan Indonesia), Program Doktor, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.  hlm. 4.
[8]www.bphn.go.id/data/documents/04pn44.doc.
[9] Ibid.,

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NO. 7 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN TEMPAT KHUSUS PARKIR TERHADAP PRAKTIK KLAUSULA BAKU PENGELOLA JASA PERPARKIRAN DI WILAYAH SURAKARTA (STUDI KASUS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN PARKIR DI WILAYAH SURAKARTA)


A.    Latar Belakang Masalah
Jasa perparkiran merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pelaku usaha yang bermotivasi tidak ingin menanggung kerugian berlebih dari risiko yang seharusnya ditanggung. Hal tersebut tampak di dalam beberapa klausula baku seperti “barang hilang tanggung jawab pemilik kendaraan”. Sampai sekarang masih banyak pelaku usaha jasa parkir yang dengan seenaknya lepas tangan atas kerugian konsumen yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Pelaku usaha mendasarkan argumentasinya pada keberadaan klausula baku, tetapi hal ini untuk mengelakkan diri dari tanggung jawab ganti rugi yang diderita oleh konsumen.[1]
Keberadaan klausula baku harus diuji apakah sudah memperhitungkan dan mengakomodasi kepentingan konsumen, jika tidak sesuai kepentingan konsumen klausula baku akan dapat menjadi alat jebakan yang merugikan konsumen sekaligus menjadi alasan pembenar bagi pelaku usaha untuk “cuci tangan” atas resiko usahanya. Klausula baku yang dicantumkan dalam karcis atau di areal parkir seharusnya tidak berlaku mutlak, harus diuji apakah merugikan konsumen atau mengelak dari ganti rugi yang menjadi tanggung jawab produsen atau pelaku usaha. Apabila standar baku akan merugikan konsumen maka klasula baku harus batal demi hukum.[2]
Dan bila kita melihat kilas balik sejarah terbentuknya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk mewujudkan misi perlindungan dan pengamanan atas kesejahteraan masyarakat dalam segala sektor kegiatan ekonomi.
“Dengan tujuan melindungi konsumen berarti sama dengan melindungi bangsa” yang kemudian menjadi motivasi dasar bagi pemberlakuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, bahwa setiap individu maupun komunal merupakan konsumen yang selalu menikmati barang/jasa. Motivasi ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa filosofi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan Pancasila (Penjelasan Umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). Adapun sejarah pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia sudah tampak dalam beberapa bidang secara sektoral sebelum tahun 1999, seperti terlihat dari beberapa ketentuan hukum Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Barang, kemudian menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; Undang-Undang No. 2 Tahun 1981; Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, dan lain-lain. Selanjutnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sendiri yang berkedudukan sebagai ketentuan hukum dasar dan umum yang harus dirujuk oleh setiap undang-undang lainnya dalam usaha perlindungan konsumen (umbrella act).[3]
Sedangkan yang menjadi latar belakang pembentukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya lebih dipengaruhi oleh tuntutan globalisasi perdagangan dunia yang diprakarsai oleh World Trade Organization (WTO) dengan perjanjian GATT-nya. Globalisasi jelas membuka lebar arus transaksi perdagangan internasional ke Indonesia yang berdampak pada semakin banyaknya barang/jasa yang ditawarkan. Pemikiran akan pentingnya pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang khusus semakin dirasa penting mengingat faktor kelemahan konsumen yang masih rendah. Tingkat kesadaran konsumen akan haknya (penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999) jelas membawa risiko yang sangat besar bagi terjaminnya kesehatan dan keamanan barang / jasa yang dinikmati konsumen. Tidak terkecuali jasa perparkiran yang semula tidak pernah digarap dengan baik saat ini menjadi bidang bisnis yang sudah berkembang dan sangat menjanjikan. Perlindungan hukum atas kepentingan konsumen pun seharusnya menjadi perhatian utama bagi pelaku usaha jasa perparkiran. Mulai dari jaminan sistem perparkirannya, keamanan kendaraan hingga penggunaan jasa selesai. Pada prinsipnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tidak hanya menekankan pengawasan pada tindakan konsumen namun juga pemberdayaan konsumen untuk lebih sadar dan memperjuangkan apa yang menjadi hak-haknya.[4]
Kasus Anny vs PT. SPI merupakan salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran konsumen yang terjadi di masyarakat. Perbedaannya Anny merupakan contoh konsumen yang sadar dan berani berjuang untuk mempertahankan hak yang semestinya dinikmatinya sebagai hak konsumen atas keamanan jasa perparkiran. Klausula baku yang dicantumkan dalam karcis atau di areal parkir seharusnya tidak berlaku mutlak, justru keberadaannya harus diuji apakah sudah memperhitungkan dan mengakomodasi kepentingan konsumen. Jika tidak berarti klausula baku menjadi alat jebakan bagi konsumen yang dirugikan sekaligus alat pembenar bagi pelaku usaha untuk “cuci tangan” atas risiko usahanya. Hal semacam ini harusnya bisa dihindari jika pelaku usaha memahami asas perlindungan konsumen yang menekankan asas keamanan dan keselamatan konsumen sebagaimana telah diatur secara tegas dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.[5] Dan juga asas kesimbangan yang terdapat di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yang menegaskan adanya kondisi seimbang dalam pemenuhan kepentingan, baik bagi konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, dalam arti materiil ataupun spiritual (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). Ini berarti ketiga pihak tersebut harus dilindungi secara seimbang, tidak boleh hanya menitikberatkan satu pihak saja tetapi ketiganya sekaligus. Tidak mudah memang memahami prinsip keseimbangan tersebut mengingat judul Undang-Undang a quo ternyata menegaskan satu pihak yang dilindungi, yaitu konsumen.[6]
Oleh karena itu, hubungan bisnis yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen pada dasarnya didasarkan pada perjanjian di antara kedua belah pihak. Sebagai sebuah perjanjian, masing-masing pihak memilki prestasi sekaligus kontraprestasi yang harus dilakukan. Pelaku usaha wajib menyerahkan barang / jasa sesuai perjanjiannya, sedangkan konsumen pada tahap ini berhak mendapatkan jaminan yang baik atas barang / jasa. Pada tahap kedua, setelah konsumen menerima barang / jasa dengan baik, ia wajib menyerahkan pembayaran sebagai imbalan barang / jasa, sedangkan pelaku usaha berhak mendapatkan imbalan dari konsumen sesuai harga yang disepakati. Mengingat perjanjian merupakan bentuk perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III BW, sifat terbuka dari perjanjian jelas berlaku bagi semua bentuk perjanjian. Kegiatan bisnis yang selalu berkembang dalam segala bentuk dan variasinya menuntut hukum lebih bersifat terbuka atau fleksibel agar dapat menampung kebutuhan masyarakat. Pasal 1338 BW merupakan dasar bagi para pelaku usaha untuk berkreasi dalam membuat perjanjian demi melindungi kegiatan bisnisnya. Asas Kebebasan Berkontrak terdapat secara implisit dalam pasal 1338 BW. Latar belakang munculnya asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh doktrin individualistik dan liberal sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan Raja pada hal-hal yang sifatnya privasi yang pada akhirnya menciptakan sebuah konsep kebebasan individu (kebebasan bagi setiap orang untuk mengejar kesejahteraannya sendiri dan mengatur perhubungan sosial menurut kehendaknya sendiri.[7] Sedangkan individu menuntut pengakuan dan perlindungan hak pribadi untuk berbuat sesuatu dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhannya. Pemberlakuan asas kebebasan berkontrak tersebut jelas membuka ruang bebas bagi terciptanya berbagai macam perjanjian yang diberlakukan di dunia bisnis, salah satunya perjanjian baku atau klausula baku. Munculnya perjanjian baku menurut Sidabalok lebih karena “semata-mata menghemat waktu dan uang (alasan ekonomis) menghindari negosiasi yang berlarut-larut.”[8] Pendapat berbeda disampaikan Sutan Remi Sjahdeini yang memandang perjanjian baku / standar kontrak adalah “suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.”[9] Kedua pendapat memang ada benarnya jika klausula baku kemunculannya dari sisi praktis untuk memperlancar kegiatan bisnis yang membutuhkan efektivitas waktu.
Perlu dipahami adanya perbedaan mendasar apa yang disebut klausula baku dan perjanjian baku. Klausul lebih menunjuk pada satu term atau satu / beberapa point kesepakatan yang terdapat di dalam perjanjian yang sudah tercantum dalam perjanjian. Sementara itu, perjanjian baku merupakan bentuk perjanjian yang baik isi maupun bentuknya sudah dibakukan untuk berlaku pada satu bidang bisnis. J. Satrio menggunakan istilah “perjanjian sepihak” dengan mendefinisikannya sebagai “perjanjian  yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedangkan para pihak yang lain hanya ada hak saja”[10]. Perjanjian sepihak lebih menekankan pihak yang berinisiatif membuat perjanjian hanya satu pihak saja yang akhirnya berdampak pada pemberian kewajiban pada pihak lainnya. Mengenai istilah “baku” dalam perjanjian baku, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani memberikan penjelasan bahwa “dikatakan ‘baku’ karena baik perjanjian maupun klausula  tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.”[11] Dapat dikatakan bahwa perjanjian baku berisikan beberapa klausula yang memang sudah tersusun dengan baik dan sistematis dan bersifat tertutup untuk diubah. Pada posisi tersebut pelaku usaha (pembuat klausula baku) lebih dipandang sebagai pihak yang sudah siap dengan penawaran jasanya, menetapkan sistem yang akan digunakannya dan menutup kemungkinan proses tawar menawar dengan konsumen.[12]
Selain definisi klausula baku dan perjanjian baku di atas, ada pula dasar hukum mengenai ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1)      Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.       menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.       memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.      menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2)      Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3)      Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4)      Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang undang ini.[13]
Dan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir di dalam Pasal 14 yang berbunyi, dalam melakukan usaha Pengelola Parkir mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a.       Mematuhi dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Menjaga keamanan, ketertiban, keindahan, dan kelancaran lalu lintas di kawasan lokasi parkir yang diusahakannya;
c.       Menempatkan papan nama parkir tempat usahanya menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Walikota;
d.      Menyerahkan hasil pungutan retribusi kepada Walikota melalui Dinas sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah potensi pendapatan parkir sesuai kontrak yang disepakati;
e.       Memungut tarif retribusi sesuai ketentuan peraturan yang berlaku;
f.       Memberikan seragam dan kelengkapannya kepada petugas parkir;
g.      Mematuhi dan melaksanakan hubungan perburuhan / ketenagakerjaan sesuai dengan Peraturan perundangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan;
h.      Memberikan jaminan sosial dan hak-hak lainnya kepada petugas parkir sebesar 15% (lima belas persen) dari potensi pendapatan parkir;
i.        Bertanggungjawab atas kerusakan dan atau kehilangan kendaraan termasuk kelengkapannya karena kesengajaan atau kealpaan sesuai kesepakatan yang berlaku.[14]
Yang pada intinya klasula baku tersebut sangat bertentangan dengan isi yang terkandung di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan di dalam Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis perlu melakukan suatu penelitian hukum yang berjudul: “Penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir Terhadap Praktik Klausula Baku Pengelola Jasa Perparkiran di Wilayah Surakarta” (Studi Kasus atas Perlindungan Hukum Konsumen Parkir di Wilayah Surakarta).

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut. Maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apakah penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir sudah sesuai dengan praktik klausula baku Pengelola Jasa Perparkiran di wilayah Surakarta ?
2.      Bagaimana bentuk perlindungan hukum apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area perparkiran wilayah Surakarta ?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.      Tujuan Obyektif
a.       Mengkaji penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir terhadap praktik klausula baku pengelola jasa perparkiran di wilayah Surakarta.
b.      Mengetahui upaya perlindungan hukum apa saja apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area jasa perparkiran wilayah Surakarta.
2.      Tujuan Subyektif
Untuk memenuhi tugas proposal hukum mata kuliah metode penelitian hukum sebagai persyaratan akademik dibidang ilmu hukum, dengan minat utama hukum bisnis di Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

D.    Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum bisnis, khususnya dibidang perlindungan hukum konsumen jasa perparkiran.
2.      Manfaat Praktis
Memberikan saran atau masukan bagi pengelola jasa perparkiran sebagai pelaku usaha guna memperluas pemahaman tentang hak dan kewajibannya yang diatur di dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, serta untuk menghindari pencantuman atas klausula baku yang merugikan konsumen parkir dalam perjanjian sewa tempat yang dibuat oleh pengelola jasa perparkiran di wilayah Surakarta.

E.     Landasan Teori
Landasan teori yang dipakai yaitu menurut pendapat teori hukum abad ke-19 yang ditandai oleh beberapa kecenderungan utama untuk revolusi industri, dengan tiga tokoh diantaranya :
1)      Teori Karl Mark (Hukum itu Kepentingan Orang Berpunya)
Karl Marx dapat dikatakan orang pertama, dan dengan amat jelas serta terperinci menjelaskan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia. Ia mengatakan, siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia. Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada dibaliknya[15]. Tidak ada satupun peristiwa sejarah di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan kategori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Hukum pun tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Misalkan, mengapa peraturan di bidang perburuhan cenderung menggelisahkan buruh? Menurut Marx, karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Sedangkan isu utama dalam hukum menurut Marx, bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan ‘orang berpunya’. Ia tidak lebih dari sarana penguasaan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka[16].       
2)      Teori Henry S. Maine (Hukum itu Produk Adaptasi Sosial)
Maine dikenal dengan teorinya Movement from Status to Contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia (khususnya cina dan India) dan masyarakat Eropa[17]. Dari studi tersebut, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: (i). Static Societies (Cina dan India), dan (ii). Progressive Societies (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan-hubungan antar-status. Sebaliknya pada masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar-prestasi.[18]
Sebagai penganut teori evolusi, Maine melihat proses-proses perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang alami. Jalurnya jelas, melalui peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan motor penggerak adaptasi itu adalah ekonomi. Arahnya pun pasti selalu menuju ke situasi-situasi yang serba adaptif dan terdeferensiasi pada tingkat struktural. Dan manusia tidak lagi dilihat dari segi ‘bawaan’-nya, tapi pada prestasi yang dibuat. Prestasi harus dibalas konta prestasi. Di sinilah terjadi kontrak antar prestasi dari para individu-individu yang menjinjing prestasinya masing-masing. Seiring dengan progresi seperti itu, hukum pun berubah dari fungsinya yang mengukuhkan hubungan-hubungan lama yang bersifat antar status ke hubungan-hubungan baru yang bersifat kontraktual[19]
3)      Teori Emile Durkheim (Hukum itu Moral Sosial)
Teori Durkheim ini, mungkin agak mengagetkan karena ia menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang selalu berurusan dengan persoalan moral. Ia adalah sosiolog-positivistik yang berjejer di belakang Mark dan Maine yang selalu bergumul dengan fakta-fakta empiris.[20]
Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan unit yang abstrak. Ia merupakan ‘roh’ yang mengikat orang-orang pada ‘kerangka keyakinan’ bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi[21]. Inilah dimensi moral yang dimaksud Durkheim. Tapi berhenti di sini, berarti berhentilah kerja sosiolog. Meskipun sosiolog merupakan kerangka keyakinan, tetaplah sebuah unit yang abstrak. Kerangka keyakinan tidak merubah solidaritas sosial menjadi susuatu yang empiris. Durkheim lalu mencari unit empiris dalam mosaik solidaritas sosial yang abstrak itu. Di situlah ia menemukan hukum sebagai unit yang empiris dari solidaritas sosial.[22]

F.     Penelitian yang Relevan
Tinjauan penelitian yang relevan mengenai penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir dengan praktik klausula baku jasa perparkiran, serta bentuk perlindungan hukum apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area perparkiran wilayah Surakarta. Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian sejenis di wilayah Surakarta mengenai permasalahan di atas.

G.    Kerangka Pemikiran
Dalam pencantuman klausula baku jasa perparkiran, pengusaha lebih mencari posisi aman dalam membuat suatu perjanjian klausula baku jasa perparkiran dengan konsumen parkir. Dimana perjanjian klausula baku yang membuat hanyalah salah satu pihak saja yaitu pengelola jasa parkir tanpa melibatkan pihak konsumen parkir untuk dimintai pendapat dan masukan mengenai isi pembuatan perjanjian klausula baku yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.
Oleh karena itu, asas kebebasan berkontrak yang terdapat di Pasal 1338 KUHPer tidak menitikberatkan pada keseimbangan kepentingan di dalam perjanjian, karena dalam hal ini pengelola jasa parkir lebih ditempatkan pada posisi yang kuat dalam menentukan isi perjanjian klausula baku dengan segi untuk mencari keuntungan finasial atas pengelolaan jasa perparkiran, tanpa memperhitungkan kerugian dipihak lain selaku konsumen dengan diterapkannya klausula baku tersebut. Adapun isi klausula baku sederhana yang biasa kita jumpai sehari-hari, di Mall, atau tempat parkir pada umumnya berbunyi ; “Barang Hilang Bukan Tanggung Jawab Pengelola Jasa Parkir”. Klausula baku tersebut sangatlah bertentangan sekali dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir.
Dan secara umum perjanjanjian klausula baku yang dibuat oleh pengelola jasa perparkiran akan menyebabkan dampak secara langsung yang merugikan konsumen apabila terjadi kerusakan dan atau kehilangan barang di tempat parkir, semisal; kehilangan motor, mobil, dan lain-lain, sehingga pengelola jasa parkir tidak mau mengganti kerugian atas hilangnya barang tersebut. Yang pada intinya di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 mengenai aturan yang seharusnya (Das Sollen), apakah sudah sesuai dengan senyatanya (Das Sein) dalam praktek yang ada dilapangan terhadap perjanjian klausula baku yang dibuat oleh pengelola jasa parkir di wilayah Surakarta. 

H.    Metode Penelitian
a.      Jenis Penelitian
Berawal dari latar belakang dan pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di depan, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-doktrinal / sosio legal research, yaitu realita bekerjanya hukum yang ada dilapangan.
Menurut Soetandyo Wignyo Soebroto dikatakan bahwa ; Socio Legal research merupakan suatu penelitian yang meneliti persoalan-persoalan yang menyangkut hal fungsi hukum sebagai suatu institusi di dalam masyarakat, berikut faktor-faktor sosial, cultural psikologis yang mempengaruhinya. Socio Legal research atau penelitian mengenai permasalahan bekerjanya hukum dalam masyarakat, berkembang baik di negara-negara nasional yang tengah dihadapkan kepada persoalan tak lagi efektifnya hukum untuk menata tertib sosial dan/atau untuk mengelola serta mengendalikan perkembangan masyarakat. Tidak lagi efektifnya hukum untuk melaksanakan fungsinya di dalam masyarakat telah mendorong pemuncak dalam tata politik negara yang mempertanyakan, mencari, meneliti sebab-sebab yang non yuridis (socio cultural dan/atau sosio psikologis).[23]
Sehingga menurut bidangnya jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat empirik/sosiologis. Sedangkan menurut konsep hukum yang digunakan dalam penelitian ini, hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka.[24]
b.      Sifat Penelitian
Menurut sifat penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, dengan maksud untuk memberikan data-data yang akurat dan seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori.
Dan menurut bentuk penelitian termasuk kedalam penelitian diagnostik dan evaluatif. Diagnostik merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Sedangkan penelitian evaluatif dilakukan apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan.[25]   
c.       Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian non-doktrinal dengan memakai salah satu dari empat macam paradigma, yaitu positivisme, atau postpositivisme, atau critical theory atau konstruktivisme. Pendekalatan yang digunakan salah satu yaitu pendekatan penelitian dengan paradigma postpositivisme yang digunakan dalam wawancara dan observasi.[26]
d.      Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian sosial mengenai hukum (social legal research) digunakan data primer dan data sekunder[27]:
a.       Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data-data yang berupa observasi (pengamatan), observasi terlibat (berperan serta), wawancara, dan Indepth interviewer (wawancara mendalam) terhadap keterangan-keterangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan.[28] Observasi dan wawancara dilakukan penulis terhadap pengelola jasa perparkiran, petugas parkir, konsumen parkir, dan para pembuat kebijakan di DPRD tentang Perda parkir di wilayah Surakarta.
b.      Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder terdiri atas[29]:
1)      Bahan hukum primer meliputi ; Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, dan peraturan yang diperlukan untuk menunjang penelitian.
2)      Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum bisnis, buku teks, komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan masalah hukum bisnis.
3)      Bahan hukum tersier, berupa kamus, ensiklopedia, dan indeks kumulatif.
e.       Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung jenis penelitian Socio-legal : dalam paradigma postpositivisme digunakan wawancara dan observasi.[30] Terhadap pengelola Jasa Perparkiran, Petugas Parkir, Konsumen Parkir, dan Para Pembuat Kebijakan di DPRD tentang Perda Parkir di wilayah Surakarta.
f.       Teknik Analisis data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisis kualitatif, rumusan mengenai metode penelitian berfungsi sebagai penuntun pelaksanaan yang bersifat sementara. Di dalam proses penelitian perumusan tersebut dapat dilakukan perubahan atau penyempurnaan. Secara umum metode penelitian kualitatif memuat komponen-komponen sebagai berikut[31]
a.       Tempat atau lokasi penelitian di wilayah Surakarta.
b.      Sumber data diperoleh dari Pengelola Jasa Perparkiran, Petugas Parkir, Konsumen Parkir, dan Para Pembuat Kebijakan di DPRD tentang Perda Parkir di wilayah Surakarta.
c.       Teknik pemerolehan data dengan observasi (pengamatan), dan wawancara.
Setelah data terkumpul dari wawancara dan observasi, kemudian dilakukan dengan data reduction[32] yaitu bagian dari teknik analisis, suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.[33]
I.       Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan dalam 3 (tiga) tahap yang memerlukan waktu sekitar 8 (delapan) bulan, yaitu :
1.      November 2011- Januari 2012 tahap persiapan penelitian selama 3 (tiga) bulan, meliputi kegiatan pra studi, identifikasi masalah, penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal dan perbaikan proposal.
2.      Pebruari – Maret 2012 tahap pelaksanaan penelitian selama 2 (dua) bulan, meliputi kegiatan identifikasi sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, pengumpulan data sekunder, pengolahan data dan analisa data.
3.      April – Juni 2012 tahap pennyelesaian penelitian selama 3 (tiga) bulan, meliputi kegiatan penulisan laporan hasil penelitian, dan ujian tesis serta perbaikan.

Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)

[1] Hwian Christanto, Perlindungan Konsumen Atas Keamanan Pengguna Jasa Perparkiran Terkait Klausula Baku: Studi Kasus Ganti Rugi Atas Hilangnya Kendaraan di Area Perparkiran.  Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.58.
[2] Ibid., hal. 58.
[3] Herlian Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.60.
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] www.media Indonesia.com, 1 Agustus 2010: Hilangnya di Tempat Parkir Kendaraan Diganti, di akses tanggal 15 Januari 2011. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.58-59.
[7] Herlian Budiono, Op Cit. hlm. 106.
[8] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.61-62.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[10] J. Satrio, Hukum Perjanjian: Perjanjian pada Umumnya. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[11] Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[12] Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[13] Lihat Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[14] Lihat Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, Pasal 14.
[15] Lih William M. Evan, Social Structure and Law: Theoretical and Empirical Perspektives. Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm.97.
[16] Ibid.,
[17] Lih S. Prakash Sinha, Jurisprudence…, Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 111.
[18] Ibid.,
[19] Lih Wolfang Friedman, Legal Theory…, Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 113-114.
[20] Ulasan tentang Durkheim dalam karya ini, sebagian besar diambil dari Vilhelm Aubert (ed), Sociology of Law…, William M. Evan, Socio Structure and law… Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 115
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] Soetandyo Wignyosoebroto, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi dalam Masyarakat Indonesia. Di dalam tesis Supriyanto, Aspek Perlindungan Hukum pada Konsumen Kendaraan Bermotor terhadap Perjanjian Pembiayaan Konsumen..., UNS Surakarta, 2004. hlm. 70.  
[24] Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program  Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), 2010. hlm.20.
[25] Ibid., hlm.5-6.
[26] Setiono, Pedoman Pembimbingan Tesis dan Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. hlm. 26-27.
[27] Ibid., hlm. 26.
[28] Ibid., hlm. 26.
[29]Ibid., hlm. 27.
[30] Ibid., hlm. 26-27.
[31] Ibid., hal. 27.
[32] Setiono., Op Cit. hlm.30.
[33] Ibid.,