A.
Latar
Belakang Masalah
Gejolak
moneter yang mulai terjadi pada bulan Juli 1997 di Indonesia, mengakibatkan
lengsernya Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal
21 Mei 1998. Kondisi ini telah menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia
dalam valuta asing, terutama terhadap kreditor luar negeri menjadi membengkak
luar biasa sehingga mengakibatkan sebagian besar debitor tidak mampu membayar
utang-utangnya.[1]
Situasi
di atas memaksa masyarakat kreditor mencari-cari sarana yang dapat digunakan
untuk mendapatkan tagihannya dengan memuaskan, sementara itu Peraturan
Kepailitan yang ada yaitu Failliissement-verordening
tidak dapat diandalkan (tidak memadai) lagi untuk mencapai tujuan
memperoleh kembali apa yang menjadi haknya untuk menyelesaikan masalah
kepailitan.
Berdasarkan
hal tersebut, International Monetary Fund
(IMF) mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau
mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana
penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya. Desakan
IMF itu ditanggapi Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 (PERPU
Kepailitan).[2]
Setelah beroperasi selama kurang lebih 6 (enam) tahun, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Masalah
utama dewasa ini, para hakim dalam praktik menerapkan Undang-Undang Kepailitan
secara legistis, mendasarkan pada “syarat-syarat pailit” sebagaimana termaktub
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Sebagaimana juga Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 yang digantikannya, sedangkan “syarat-syarat pailit”
tersebut tidak rasional, karena permohonan kepailitan dapat diajukan dan
putusan pailit oleh Pengadilan Niaga dapat diajukan terhadap debitor yang masih
solven.
Sebagaimana
diketahui, sebelum gejolak moneter tahun 1997, Indonesia telah memiliki
peraturan kepailitan, yaitu Faillissements-verordening
S.1905-217 jo S.1906 – 348. Sekalipun sejak Indonesia merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945 sampai saat Faillissements-verordening tersebut
diubah dan ditambah, syarat-syarat kepailitan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal
1 peraturan kepailitan tersebut tidak pernah dipermasalahkan oleh dunia usaha.
Menurut Pasal 1 Faillissements-verordening tersebut, syarat untuk dapat mengajukan
permohonan pailit adalah “setiap debitor yang berada dalam keadaan berhenti
membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas
permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan
putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam
keadaan pailit”.
Syarat-syarat
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
Faillissements-verordening tersebut
hanya memberikan kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap
debitor yang telah berada dalam keadaan berhenti membayar kembali
utang-utangnya. Artinya, debitor tersebut telah dalam keadaan insolven.
Ketentuan
mengenai syarat pailit sebagaimana dimaksud sebelum diatur dalam Faillissements-verordening, diatur dalam
ketentuan perundang-undangan yang terpisah bagi pedagang. Bagi pedagang termuat
dalam peraturan tentang ketidak mampuan pedagang, yakni dalam Wet Boek van
Koophandel (WvK), buku ketiga yang berjudul van
de voorziening in geval van onvermogen van kooplieden. Sedang bagi
orang-orang bukan pedagang, termuat dalam peraturan tentang keadaan nyata-nyata
tidak mampu, yakni dalam Reglement op de
Rechtsvordering (Rv), staatblad tahun 1847 nomor 52 juncto staatblad tahun 1949 nomor 63, buku ketiga, bab ketujuh yang
berjudul Den staat van kennelijk
onvermogen Pasal 899 sampai dengan 915.[3]
Dari
sejarah sebelum diaturnya syarat-syarat pailit dalam Faillissements-verordening, meskipun masih terpisah, namun telah
menyatakan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit, baik bagi pedagang
maupun bagi bukan pedagang, sebagaimana dapat dilihat dari kedua judul
ketentuan syarat-syarat pailit yakni WvK dan Rv yang berlaku pada waktu itu,
adalah tidak mempunyai (onvermogen)
seseorang untuk membayar utangnya.
Setelah
tidak dipisahkan lagi ketentuan tentang syarat-syarat pailit bagi pedagang dan
bukan pedagang, maka yang dimaksud dalam Faillissements-verordening
(Fv) dengan setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali
utang, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Faillissements-verordening,
adalah setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali utangnya,
karena tidak mampu membayar utangnya, yang terjadi karena keadaan finansialnya
atau aset yang tidak cukup.[4]
Sejak
diberlakukannya undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian diganti dengan
undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka debitor yang masih dalam keadaan solven-pun juga dapat dimohonkan oleh
kreditor untuk dinyatakan pailit asal memenuhi syarat yang ditentukan dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Berdasarkan pasal tersebut, seorang
debitor dapat dinyatakan pailit jika mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.[5]
Permasalahan
mengenai syarat-syarat pailit baru muncul setelah dibentuknya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian
telah diterima dan disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut bukan sekedar menggantikan Faillissements-verordening tetapi
mengubah dan menambah isinya. Termasuk yang diubah dari Faillissements-verordening adalah syarat-syarat kepailitan yang
disebutkan dalam Pasal 1 Faillissements-verordening.[6]
Bunyi syarat-syarat kepailitan diubah menjadi berbunyi, “debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri,
maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.
Dengan
diubahnya syarat-syarat pailit tersebut, maka bukan hanya debitor insolven saja yang dapat diputuskan
pailit oleh Pengadilan Niaga tetapi juga debitor yang masih solven. Perubahan syarat-syarat pailit
tersebut telah menjadi ancaman bagi perkembangan dunia usaha, yang lebih lanjut
tidak mustahil dapat menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional.
Sangat
disayangkan, ternyata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang yang menggantikan undang-undang Nomor 4
Tahun 1998 masih mengadopsi syarat-syarat pailit yang tidak berbeda dengan
syarat-syarat pailit menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut.[7]
Syarat-syarat pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah “Debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang,
baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih
kreditornya”.[8]
Seperti
dalam kasus yang terjadi pada salah satu BUMN dibidang kedirgantaraan Indonesia
yaitu PT. Dirgantara Indonesia. Yang dalam perjalanan usaha PT. Dirgantara
Indonesia mengalami permasalahan, yaitu permasalahan sengketa hak dan kewajiban
antara mantan pekerja dan perusahaan. Sengketa tersebut dipicu oleh
kekurangpuasan mantan pekerja tersebut dalam sistem pembayaran kompensasi
pensiun bagi mantan pekerja, sehingga mereka mengajukan permohonan pailit
kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.[9]
Majelis Hakim
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menanggapi permohonan pailit yang diajukan
pemohon pada Tanggal 4 September 2007, memutuskan bahwa PT. Dirgantara
Indonesia sebagai BUMN yang bergerak dibidang kedirgantaraan di Indonesia
dinyatakan Pailit. Dalam putusannya Majelis Hakim Adriani Nurdin Nomor:
41/Pailit/2007/PN. Niaga. Jkt.Pst. menilai PT. Dirgantara Indonesia belum
melaksanakan butir ketiga putusan P4P Tanggal 29 Januari 2004, yaitu
membayarkan kompensasi dana pensiun dan tunjangan hari tua yang sesuai
perhitungan gaji pokok terakhir senilai Rp. 200 Milyar kepada 6.561 mantan
pekerja PT. Dirgantara Indonesia yang diberhentikan sejak 31 Desember 2003.[10]
Sedangkan
pada putusan Majelis hakim kasasi Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007, mengabulkan
permohonan kasasi yang semula termohon permohonan pernyataan pailit PT
Dirgantara Indonesia oleh pemohon permohonan (pekerja). Pada putusan Kasasi di
Mahkamah Agung, hakim menolak permohonan pemohon pernyataan pailit.[11] Dengan
ditolaknya putusan hakim Pengadilan Niaga oleh hakim Mahkamah Agung dengan
alasan bahwa PT Dirgantara masuk dalam Badan Usaha Milik Negara yang seluruh
sahamnya dimiliki oleh negara. Saham PT Dirgantara dimiliki oleh Menteri Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Keuangan serta BUMN juga merupakan objek
vital industri.
Hakim kasasi juga memutuskan menerima
permohonan kasasi yang diajukan PT Dirgantara karena permohonan pailit untuk
perusahaan BUMN hanya bisa diajukan oleh Menteri Keuangan sebagai bendahara
umum Negara, sesuai dengan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
Dengan
dibatalkannya putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh Mahkamah Agung.
Maka, proses yang sedang terjadi di Pengadilan Niaga, yakni penghitungan aset
dan utang PT Dirgantara Indonesia kepada kreditur oleh kurator dapat dihentikan.[12]
Berdasarkan kasus permohonan pailit antara
Heryono, dkk melawan PT Dirgantara Indonesia di atas, maka penulis membuat
judul makalah : PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PAILIT YANG DIAJUKAN
HERYONO, DAN KAWAN-KAWAN KEPADA PT DIRGANTARA INDONESIA DITINJAU DARI TEORI
HUKUM POSITIVISME.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka diperoleh rumusan sebagai
berikut :
1. Bagaimana
duduk perkara dan putusan Mahkamah
Agung terhadap pailit yang diajukan Heryono, dan kawan-kawan kepada PT
Dirgantara Indonesia ?
2.
Bagaimana
Teori Hukum dan Analisa Putusan Kasasi PT Dirgantara Indonesia ?
A.
Duduk Perkara dan Putusan Mahkamah
Agung terhadap Pailit yang diajukan Heryono, dan Kawan-Kawan Kepada PT
Dirgantara Indonesia
Duduk perkara dalam perkara kepailitan yang diajukan Heryono, dan
kawan-kawan terhadap PT Dirgantara Indonesia adalah sebagai berikut :
Para Pemohon adalah termasuk dari 6.561
orang pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh Termohon berdasarkan
Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (selanjutnya disebut
Putusan P4 Pusat) No.142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 yang
telah berkekuatan hukum tetap dengan nomor urut 332, 1742 dan 2082 dari
lampiran Putusan P4P No.142/03/02- 8/X/PHK/I-2004 tanggal 29 Januari 2004
tersebut (Bukti P-1).
Amar III dari Putusan P4 Pusat tanggal
29 Januari 2004 tersebut berbunyi antara lain : Mewajibkan kepada Pengusaha
PT.DIRGANTARA INDONESIA seperti tersebut pada amar I tersebut untuk memberikan kompensasi
pensiun dengan mendasarkan besarnya upah Pekerja terakhir dan Jaminan Hari Tua
sesuai dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1992 (vide Bukti P-1).
Dimana para Pemohon yaitu Heryono, Nugroho
dan Sayudi, dengan jumlah nilai tagihan masing-masing sebesar Rp. 83.347.862,82
(delapan puluh tiga juta tiga ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus enam
puluh dua rupiah poin delapan puluh dua), Rp. 69.258.079,22 (enam puluh sembilan
juta dua ratus lima puluh delapan ribu tujuh puluh sembilan poin dua puluh dua)
dan Rp. 74.040.827,91 (tujuh puluh empat juta empat puluh ribu delapan ratus
dua puluh tujuh poin sembilan puluh satu) (Bukti P-2).
Kewajiban Termohon untuk membayar
kompensasi pensiun kepada para Pemohon adalah merupakan hutang Termohon kepada
para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (6) dari UUK, yang
berbunyi : "Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitur satu dan lainnya, vide pertimbangan hukum dalam Putusan No.25/Pailit/2007/PN.Jkt.Pst.
tanggal 18 Juni 2007 dalam perkara antara PT.NAMYANG CHEMICAL INDONESIA lawan
PT. TRUBA RAYA TRADING.
Hutang tersebut telah jatuh tempo dan
dapat ditagih sejak Putusan P4P tanggal 29 Januari 2004, terbukti : Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. dengan surat No.B.169/DJPPK/IX/2004 tanggal
5 Oktober 2004 telah menegur Termohon dengan tembusan ditujukan antara lain
kepada Ketua Serikat Pekerja FKK PT. DIRGANTARA INDONESIA untuk membayar dana
pensiun dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat
tersebut (Bukti P-3). Kepada Termohon telah diberikan teguran/peringatan
berdasarkan Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No. 079/2005.EKS tanggal 14 Juni 2005 (Bukti P-4). Telah ada hasil pertemuan tim kerja tindak
lanjut hasil kesepakatan Direksi PT. DIRGANTARA INDONESIA (Persero) dan SP FKK
PT. DIRGANTARA INDONESIA (Persero) tanggal 8 Mei 2006 (Bukti P-5). Namun hingga
gugatan pailit ini diajukan tidak ada realisasi maupun pembayaran dari Termohon
kepada para Pemohon.
Dengan tidak dilakukannya pembayaran
oleh Termohon, walaupun hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih,
maka Termohon menurut UUK dapat dinyatakan pailit. Disamping para Pemohon,
Termohon juga mempunyai hutang kepada :
Sdri. Nelly Ratnasari, Swasta, bertempat tinggal di Jalan Rajawali
Timur No. 71/78, Bandung, sebesar ± Rp.12.701.489,25 (dua belas juta tujuh
ratus satu ribu empat ratus delapan puluh sembilan poin dua puluh lima).
Sukriadi Djasa, Swasta, bertempat tinggal di Blok D-7/17 Rt.07/07,
Marga Asih, Cimahi, sebesar ± Rp. 79.024.764,81 (tujuh puluh sembilan juta dua
puluh empat ribu tujuh ratus enam puluh empat poin delapan puluh satu).
NELY RATNASARI dan SUKRIADI DJASA, yang berada dalam Daftar yang
menggugat Dapen dan bersama-sama pekerja lain yang namanya tercantum dalam daftar
tersebut (vide Bukti P-2) maupun seluruh pekerja lainnya yang total berjumlah
3.500 orang dengan total piutang sejumlah ± Rp.200.000.000.000.- (dua ratus
milyar rupiah) (vide bukti P-5) akan menuntut piutang yang menjadi hak mereka
dan semuanya akan hadir dan akan mengikuti persidangan ini selaku para kreditur
dari Termohon.
BANK MANDIRI, beralamat di Plaza Mandiri Jalan Gatot Subroto Kav. 36-38,
Jakarta, dengan piutang sebesar Rp.125.658.033.228.- (seratus dua puluh lima
milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu dua ratus dua
puluh delapan rupiah).
Dimana jumlah piutang para Pemohon maupun piutang-piutang tertulis
di atas baru dapat diketahui secara pasti, apabila Termohon telah dinyatakan pailit
dan diverifikasi dalam rapat pencocokan piutang para kreditur yang dipimpin
oleh Hakim Pengawas dan Kurator nantinya.[13]
Selain dari duduk perkara yang sudah
dijelaskan diatas. Adapun putusan hakim Mahkamah Agung yang berpendapat
mengenai alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Termohon yang dapat
dibenarkan, karena judex facti telah
salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37
Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik”, sesuai dengan penjelasan
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, adalah badan usaha milik
negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham.
Pemohon Kasasi I / PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang keseluruhan
modalnya dimiliki oleh Negara, yang pemegang sahamnya adalah Menteri Negara
BUMN Negara Republik Indonesia dan Menteri Keuangan Negara Republik Indonesia
(bukti T1).
Perusahaan Perseroan / Persero, menurut
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, adalah badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara RI, atau
badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara RI.
Terbaginya modal Pemohon Kasasi I /
Termohon atas saham yang pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN Negara RI dan
Menteri Keuangan Negara RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang
mewajibkan pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang, karena
itu terbaginya modal atas saham yang seluruhnya
dimiliki oleh Negara tidak membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I /
Termohon adalah badan usaha milik negara yang tidak bergerak di bidang
kepentingan publik.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri
Perindustrian RI No.03/MIND/PER/4/2005 (bukti T33) disebutkan bahwa PT.
Dirgantara Indonesia adalah objek vital industri, dan yang dimaksud dengan
objek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha
industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan Negara dan /
atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis (Pasal 1 angka 1 Peraturan
Menteri Perindustrian RI No.03 / M – IND / PER / 4 / 2005 tanggal 19 April
2005).
Oleh karena itu Pemohon Kasasi I /
Termohon sebagai badan usaha milik negara yang keseluruhan modalnya dimiliki
oleh Negara dan merupakan objek vital industri, adalah badan usaha milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik yang hanya dapat dimohonkan pailit
oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang
No.37 Tahun 2004.
Lagi pula Pasal 50 Undang-Undang No.1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara melarang pihak manapun untuk melakukan
penyitaan terhadap antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak dan
barang tidak bergerak milik Negara, sehingga kepailitan yang menurut Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan
sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit, apabila kekayaan Debitur Pailit
tersebut adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita, kecuali
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan selaku Wakil
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan Negara yang dipisahkan dan bendahara umum
negara (Pasal 6 ayat (2) a jo Pasal 8 Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara).
Berdasarkan pertimbangan di atas, dengan
tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan kasasi lainnya dari Pemohon Kasasi I
/ Termohon maupun dari Pemohon Kasasi II / Kreditur Lain, menurut pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari para
Pemohon Kasasi : PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan kawan tersebut serta
membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 4 September 2007 dan Mahkamah Agung
juga mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan
disebutkan di bawah ini.
Oleh karena permohonan kasasi dari para
Pemohon Kasasi dikabulkan dan para Termohon Kasasi / para Pemohon adalah pihak yang
kalah, maka para Termohon Kasasi / para Pemohon dihukum untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan. Dan juga memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.[14]
B.
Teori Hukum dan Analisa Putusan Kasasi PT
Dirgantara Indonesia
Istilah kepailitan secara etimologi berasal
dari kata “pailit”, istilah “pailit” ditemukan dalam perbendaharaan bahasa
Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda.
Perkataan pailit berasal dari istilah “failliet”
dalam bahasa Belanda yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan
kata sifat, atau pailit berasal dari kata “faillite”
dalam bahasa Perancis yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran,
sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis
dinamakan “lefaili” (kata benda
berarti gagal). Dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail”, dengan arti yang sama, dalam bahasa Latin disebut “failure”. Di negara-negara berbahasa
Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata-kata “Bankrupt” dan “Bankruptcy”.
Salah satu tahap penting dalam proses
kepailitan adalah tahapan insolvensi.
Tahap ini penting artinya karena pada tahap ini status debitor ditentukan.
Dalam arti apakah hartanya dibagi-bagi untuk menutupi utang-utangnya, ataukah
masih diberi kesempatan untuk mengurus asetnya. Dengan diterima suatu rencana
perdamaian atau retrukturisasi utang, manakala debitor dinyatakan dalam keadaan
insolvensi, maka ini berarti bahwa
debitor sudah benar-benar pailit dan asetnya dapat segera dibagi-bagi kepada
para kreditornya. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan
pailit tersebut tidak dapat dilanjutkan.[15]
Menurut Jack P. Friedman,[16]
yang dimaksud dengan insolvensi adalah
:
-
Ketidaksanggupan
debitor untuk memenuhi kewajiban finansial ketika utangnya jatuh waktu yang
ditentukan dalam bisnis, atau
-
Kewajiban
debitor lebih besar dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Dari pengertian di atas, maka orang hanya
dapat dikatakan insolven jika pada
suatu saat, uang atau aset yang dimilikinya jauh lebih sedikit dari jumlah
utang-utangnya. Dengan kata lain, dia baru dapat dikatakan dalam keadaan insolvensi apabila keadaan kewajibannya
melebihi aset-aset dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu.
Henry Cambell Black, MA : mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan insolvensi
adalah, the condition of a person or
business that is insolvent, inability or lack of means to pay debts (kondisi seseorang atau bisnis
yang bangkrut, ketidakmampuan
atau kurangnya sarana untuk membayar
utang).[17] Sedangkan yang dimaksud dengan bankruptcy, adalah : the state or condition of a person
(individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its
debts, as they are, or become, due (keadaan atau kondisi seseorang (individu, kemitraan, korporasi) yang tidak mampu membayar utang-utangnya).[18]
Debitor baru berada dalam keadaan insolven, manakala kondisi keuangannya
menunjukkan jumlah utang-utangnya lebih besar ketimbang seluruh harta
kekayaannya.[19] Debitor
dapat dinyatakan pailit manakala tidak mampu membayar utangnya, setelah utang
tersebut jatuh tempo. Apabila debitor dalam realitasnya masih mampu untuk
membayar utangnya maka tidak adil apabila debitor dinyatakan pailit.[20]
Sehingga dengan jelas dapat dibedakan antara tidak dapat (tidak mampu) dan
tidak mau membayar utang. Tidak dapat (tidak mampu) membayar terkait dengan
keadaan keuangannya, sedangkan tidak mau membayar terkait dengan itikad baiknya
atau terkait dengan mora creditors.[21]
Dengan dapat dinyatakan pailit oleh pemohon
kepada termohon terkait dengan keuangannya, apabila dihubungankan dengan pemikiran
Lawrence M. Friedman, mengenai sistem hukum itu sendiri dalam realitasnya
mempunyai beberapa aspek, sehingga karenanya agar fungsi hukum dapat berjalan
secara efektif dan efisien, hendaklah aspek-aspek hukum tersebut perlu
diberdayakan yang meliputi : Substansi Hukum (The Legal Substance), Struktur Hukum (The Legal Struktur), dan Budaya Hukum (The Legal Culture).[22]
Substansi Hukum (The Legal Substance), yakni keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah
hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat yang tertata dalam suatu
sistem, yang berlaku dalam masyarakat dan disebut tatahukum.[23]
Dalam hubungannya dengan hukum kepailitan, keseluruhan azas-azas dan kaidah
hukum kepailitan yang berlaku tertata dalam suatu sistem tentang tuntutan
pelunasan pembayaran piutang kreditor
terhadap debitor yang tidak mampu membayar utangnya, pada waktu utang tersebut
telah jatuh waktu.
Azas hukum kepailitan yang berlaku
menyatakan, bahwa kreditor dalam melakukan penuntutan pelunasan pembayaran piutangnya
harus didasarkan pada ketidaksanggupan debitor untuk memenuhi kewajiban
finansial ketika utangnya jatuh waktu yang ditentukan dalam bisnis dan kewajiban
debitor lebih besar dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Dari azas tentang hukum kepailitan
sebagaimana dikemukakan diatas, maka kreditor hanya dapat mengajukan tuntutan
pelunasan piutangnya terhadap debitor, manakala pada suatu saat, uang atau aset
yang dimiliki debitor jauh lebih sedikit dari jumlah utang-utangnya. Dengan
perkataan lain, debitor baru dapat dituntut pelunasan pembayaran utangnya yang
jatuh waktu, dengan permohonan agar debitor dinyatakan pailit manakala keadaan
kewajibannya melebihi aset-asetnya dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu.[24]
Struktur hukum (The Legal Struktur), yakni keseluruhan orang-orang yang menjalankan
fungsi untuk mewujudkan hukum yang mencakup kegiatan pembentukan hukum,
penerapan dalam penegakan hukum, dan pengembangan hukum.[25]
Hakim Pengadilan Niaga dalam menjalankan fungsi untuk mewujudkan hukum
kepailitan yang semula berlaku umum (Hukum Inabstraksto) untuk kemudian berlaku
secara khusus (Hukum Inkronkreto), dengan menerapkan terhadap kasus-kasus
konkrit tentang sengketa kepailitan. Penerapan tersebut dalam pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusannya tidak saja mendasarkan pada pertimbangan
terhadap ketentuan hukum secara tekstual, sinkronis, dan legistis, akan tetapi
juga secara kontekstual, diakronis dan legalistis. Sehingga putusan hakim
Pengadilan Niaga tidak saja untuk kepentingan debitor, para stakeholders, dan seluruh kepentingan
masyarakat.
Budaya Hukum (The Legal Culture), yakni mencakup keseluruhan putusan-putusan dan
perilaku para pejabat dan warga masyarakat sejauh berkaitan dengan sistem makna
juridik.[26] Dalam
hubungannya dengan sistem hukum kepailitan yang sekarang berlaku, masyarakat
berperilaku mempercayai terhadap putusan-putusan Hakim Pengadilan Niaga,
manakala putusan-putusan Hakim Pengadilan Niaga dilandasi oleh kemampuan
terhadap epistimologi hukum kepailitan dan integritas moral yang tinggi.[27]
Dari sistem hukum yang dalam realitasnya
mempunyai 3 (tiga) aspek yang sudah dijelaskan di atas, yakni Substansi Hukum (The Legal Substance), Struktur Hukum (The Legal Struktur), dan Budaya Hukum (The Legal Culture). Sistem hukum dalam
realitasnya juga banyak diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law (anglo-saxon law) maupun civil law (continental law), yang hukum sendiri
diberikan pengertian sebagai :
Positivisme hukum (legal positivism). Aliran Positivisme Hukum memang hanya mau
mendasarkan diri pada sistem hukum positif itu sendiri. Secara ekstrim aliran
Positivisme Hukum akan menyatakan, “Kita harus mematuhi (kaidah) hukum, karena
ia adalah (kaidah) hukum.
Menurut pemikiran Ad Peperzak, bahwa di dalam
kerangka suatu sistem aturan-aturan hukum positif, perkataan baik, benar dan
adil, berarti sesuai dengan hukum atau sah (lawful),
dan dengan sendirinya perkataan buruk, salah dan tidak adil berarti melawan
hukum atau tidak sah (unlawful).[28]
John Austin mendefinisikan hukum : A rule laid down for the guidance of an
intelligent being having power over him.[29]
Selanjutnya John Austin mengemukakan, bahwa : The positive law, or “law properly so cold”, which remains, is
characterised by four element command, sanction, duty and sovereinity (Hukum positif, atau "hukum yang
dianggap benar", yang tetap, ditandai oleh empat unsur perintah,
tugas, sanksi
dan larangan).[30]
Menurut pemikiran Lon Fuller, aspek internal
moralitas hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana yang memungkinkan
aspek eksternal moral hukum dapat diwujudkan, apabila dapat mewujudkan tuntutan
moral terhadap hukum yang harus dipenuhi agar hukum berfungsi dengan baik dan
adil.[31]
Sehingga dengan berfungsinya Hukum Kepailitan untuk dapat menjadi sarana dalam
mewujudkan hukum yang baik dan adil, dengan mendasarkan pada pengakuan dan
penghormatan atas martabat debitor, maka Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
dapat menjadi ketentuan hukum yang kokoh (rigorous)
ditinjau dari aspek kepastian hukum (legalitas).[32]
Sehingga apabila kita hubungankan dengan
kasus kepailitan di atas, maka konsep hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto,
dari lima konsep hukum yang ada, ada dua konsep hukum yang sesuai dengan kasus
kepailitan PT Dirgantara, yaitu : Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem
perundang-undangan hukum nasional, dan Hukum adalah apa yang diputuskan oleh
hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law.[33]
Oleh karena itu, untuk analisa putusan hakim Mahkamah Agung terhadap kasus pailit
yang diajukan heryono, dan kawan-kawan kepada PT Dirgantara Indonesia,
maka digunakanlah teori H. Ph. Visser’t Hooft, yaitu hakim dalam menerapkan
hukum harus berorientasi pada 3 (tiga) acuan dasar yang dalam setiap tata hukum
bekerja, pada waktu yang bersamaan, yakni: positivitas, koherensi, dan keadilan.[34]
Positivitas.
Dalam pengacuan pada hukum, sebagai putusan lembaga peradilan, hakim memiliki
otoritas untuk menemukan argumen-argumen yang secara historis menjadi kehendak
pembentuk undang-undang dalam membentuk hukum positif.
Dalam
hubungannya dengan hukum kepailitan, dalam melakukan analisa terhadap kasus
kepailitan yang telah diputus oleh hakim akan meninjau, apakah hakim Pengadilan
Niaga menggunakan metode dengan mengemukakan argumen-argumen yang secara
historis menjadi kehendak pembentuk undang-undang tentang kepailitan pada waktu
membentuknya.
Koherensi.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, hakim memiliki otoritas
tidak saja terhadap adanya saling bertautan di antara aturan-aturan, tetapi
juga adanya koherensi di antara aturan-aturan hukum.
Dalam
hubungannya dengan hukum kepailitan, dalam melakukan analisa terhadap putusan
hakim pada kasus kepailitan, akan meninjau, apakah hakim Pengadilan Niaga dalam
memeriksa dan memutus terhadap kasus kepailitan, menggunakan metode dengan
membandingkan terhadap peraturan perundang-undangan tentang apa yang dimaksud
dengan wanprestasi.
Keadilan.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, putusan hakim dapat
dikategorikan adil, manakala dapat diterima dalam perspektif keyakinan-keyakinan
masyarakat kontemporer.
Parameter
yang digunakan hakim sebagai acuan dalam pertimbangan hukum yang menjadi dasar
putusannya adalah apakah kepentingan seluruh masyarakat pada positivitas,
koherensi dan keadilan akan menjadi terpenuhi, manakala hakim dalam menerima,
memeriksa dan memutus kasus kepailitan tidak hanya mendasarkan pada penerapan
ketentuan hukum kepailitan secara tekstual, sinkronis dan legistis. Akan tetapi
juga mendasarkan pada penerapan secara kontekstual, diakronis dan legalistis.
Yang dimaksud dengan kontekstual, diakronis, dan legalistis disini adalah kasus
kepailitan yang diterima, diperiksa dan diputus oleh hakim dengan
mempertimbangkan apakah kasus yang diajukan tersebut dilakukan sebelum atau
sesudah gejolak moneter tahun 1997-1998.[35]
Maka
untuk analisa yang mengacu kepada teori H.Ph. Visser’t Hooft, bahwa pertimbangan
yang menjadi dasar putusannya mempertimbangkan tiga acuan dasar yang pada
setiap ketentuan hukum bekerja pada waktu bersamaan, yakni ; Positivitas,
Koherensi dan Keadilan. Apabila teori H.Ph. Visser’t Hooft dihubungkan dengan analisa
putusan hakim di Mahkamah Agung
terhadap pailit yang diajukan Heryono, dan kawan-kawan kepada PT Dirgantara
Indonesia adalah sebagai berikut :
POSITIVITAS.
Dalam perkara kepailitan PT Dirgantara Indonesia melawan Heryono, dkk. Pemohon dalam
hal ini mengajukan dan mendaftarkan permohonan kepailitan PT Dirgantara
Indonesia kepada Kepaniteraan Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 25 Oktober 2007, yakni diajukan setelah dapat dikendalikan gejolak
moneter tahun 1997-1998. Oleh karena itu Faillissements-verordening
S.1905-217 jo S.1906 – 348 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sudah tidak
sesuai dengan perkembangan jaman pada gejolak moneter setelah tahun 1997-1998.
Dan untuk menyesuaikan kasus kepailitan yang diajukan pada tanggal 25 Oktober
2007 kepada Kepaniteraan Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka
digunakanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, untuk menyesuaikan dengan
perkembangan jaman setelah tahun 1997-1998.
KOHERENSI.
Dalam perkara pailit PT Dirgantara Indonesia telah terjadi koherensi antara
peraturan perundang-undangan tentang syarat-syarat permohonan pailit dalam
kaitannya dengan diharuskannya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.
Sehingga dalam putusan hakim di Pengadilan Niaga, hakim sudah memutus sesuai
dengan bunyi yang ada di dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang “debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Dan Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang “permohonan pernyataan pailit harus
dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana”.
Oleh karena itu putusan hakim Pengadilan
Niaga menyatakan, pemohon dapat dinyatakan pailit sesuai dengan bunyi pasal 2
ayat 1 dan pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Berbeda dengan putusan hakim Mahkamah
Agung yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Niaga telah salah menerapkan
hukum judex facti, karena sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang
No.37 Tahun 2004 menyatakan bahwa “dalam
hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan”.
Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik”, sesuai dengan penjelasan
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, adalah “badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan
tidak terbagi atas saham”.
Perseroan / Persero, menurut Pasal 1
angka 2 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, adalah
“badan usaha milik negara berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya dimiliki
oleh Negara RI, atau badan usaha milik negara berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh
Negara RI”.
Terbaginya modal Pemohon Kasasi I /
Termohon atas saham yang pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN Negara RI dan
Menteri Keuangan Negara RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang “mewajibkan pemegang saham suatu perseroan
sekurang-kurangnya dua orang”.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri
Perindustrian RI No.03/MIND/PER/4/2005 disebutkan bahwa PT Dirgantara Indonesia
adalah objek vital industri, dan yang dimaksud dengan “objek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan
atau usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan
Negara dan / atau sumber pendapatan Negara yang bersifat strategis” (Pasal
1 angka 1 Peraturan Menteri Perindustrian RI No.03 / M – IND / PER / 4 / 2005
tanggal 19 April 2005).
Oleh karena itu Pemohon Kasasi I /
Termohon sebagai “badan usaha milik
negara yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara dan merupakan objek vital
industri, adalah badan usaha milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan”
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.37 Tahun 2004.
Pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara “melarang
pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap antara lain uang atau surat
berharga, barang bergerak dan barang tidak bergerak milik Negara”. Sehingga
kepailitan yang menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU merupakan “sita umum
atas semua kekayaan Debitur Pailit, apabila kekayaan Debitur Pailit tersebut
adalah kekayaan Negara tentunya tidak dapat diletakkan sita, kecuali permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan Negara yang dipisahkan dari bendahara umum Negara”
(Pasal 6 ayat (2) a jo Pasal 8 Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara).
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia
dan diseluruh dunia bahwa definisi pailit adalah aset lebih kecil dari pada
utang, karena tidak mungkin PT Dirgantara Indonesia yang mempunyai aset lebih
besar dari pada utang dapat dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga.
KEADILAN.
Dalam perkara ini putusan Hakim Kasasi adalah putusan yang adil, karena putusan
ini dapat diterima baik oleh masyarakat bisnis, maupun masyarakat pada umumnya.
Demikian pula dapat diterima oleh kalangan awam maupun oleh dunia akademis.
Simpulan
1. Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007 mendasarkan pada syarat-syarat pailit
sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
3. Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007 telah memenuhi tiga acuan dasar yang
pada setiap ketentuan hukum bekerja pada waktu bersamaan sebagaimana
dikemukakan oleh H. Ph. Visser’t Hooft, yakni POSITIVITAS, KOHERENSI dan
KEADILAN.
Saran
Untuk
menghindarkan perbedaan dalam menerapkan pasal hendaknya syarat-syarat pailit sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hendaknya direvisi karena
dalam pengertian pasal ini debitor yang masih mampu untuk membayar
hutang-hutangnya pun dapat dinyatakan pailit walaupun mempunyai aset yang lebih
banyak dan perusahaannya masih aktif menjalankan usaha.
Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. dan Subchi
Eko Putro S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)
[1] Sutan Remy Sjahdeini. Hukum
Kepailitan, penerbit : Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 29.
[2] Ibid., hlm. 28.
[3] Djohansyah, J, dalam Penyelesaian Utang atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Rudhy A. Lontoh, penerbit : Alumni, 2001, Bandung, hlm
23.
[4] Ibid., hlm.22.
[5] Ibid., hlm.22.
[6] Vide pasal 1 FV (Faillissements-verordening).
[7] Arbijoto, Ringkasan Disertasi
“Kepastian, Keadilan, dan Manfaat Undang-Undang Kepailitan Indonesia bagi
Debitor dan Kreditor” (Suatu Tinjauan Yuridis Filosofis tentang Syarat-Syarat
Kepailitan Undang-Undang Kepailitan Indonesia), Program Doktor, Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. hlm.4.
[8] Lihat Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
[9]
K
Puspitasari dan D Rachardono, dalam artikel yang berjudul “Kepailitan PT.
Dirgantara Indonesia”, hlm. 8. Diakses pada Kamis, 4 Oktober 2007.
[10] K Puspitasari
dan D Rachardono, op cit, hlm. 8.
[11] Arbijoto, op cit, hal. 129.
[12]
http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/10/24/brk,20071024-110033,id.html
[13] Ringkasan Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 075 K/Pdt.Sus/2007.
[14] Ibid.,
[15] Arbijoto, loc cit. hlm.17.
[16] Jack P Friedman, Dictionary of Business Term, New York,
USA, Barron’S Educational Series, Inc, 1987, hlm. 289.
[17] Henry Cambell Black, Black Law Dictionary, Penerbit West
Publishing Co, Sixth Edition, USA, 1980, hlm. 797.
[18] David G. Epstein, Steve H
Nickles, Jamers J. White, Bankruptcy,
penerbit : Horn Book Series, Western Publishing Co, ST. Paul, Minesotta, 1993,
hlm. 306.
[19] David G. Epstein, Steve H Nickles,
Jamers J. White, Op Cit.
[20] Thomas H. Jacson, The Logic and
Limits of Bankruptcy Law, England : Harvard University Press, Cambridge, 1986.
hlm. 198.
[21] Arbijoto, loc.cit. hlm. 18-19.
[22] Lawrence M. Friedman, American Law, Standford Univercity, W.W.
Norton & Company, New York – London, 1984, page 5 -8.
[23] Arief Sidharta, Sistem Hukum,
Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2007, hlm. 76.
[24] Jack P. Friedman, op.cit, hlm.
289.
[25] Arief B. Sidharta, op.cit.
[26] Ibid.,
[27] Arbijoto, loc.cit. hlm. 16-17.
[28] Arief Sidharta, dalam Pandangan
Ad Peperzak, Tentang Hukum dan Moralitas, Penerbit : Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2008, hlm. 1.
[29] Friedmann, W. Legal Theory. Fifth Edition, Universal
Law Publishing Co, Pvt, Ltd, Second Indian Reprint 2002, page 258.
[30] Ibid., page. 258.
[31] B. Arief Shidarta, dalam Ethika
Hukum, Penerbit : Laboraturium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung, 2008, hlm. 8.
[32] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi
Hukum, Penerbit : Universitas Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004,
hlm. 62.
[33] Setiono, Pemahaman Metodologi
Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta. 2010. hlm. 20.
[34] H.Ph. Visser’t Hooft. Filsafat
Ilmu Hukum, Filosofie de Rechtswetenschap, terjemah B. Arief Sidharta, Penerbit
Laboraturium Hukum Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan Bandung,
2003, hlm. 53-57.
[35] Arbijoto, loc.cit. hlm.28-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar