A.
Latar
Belakang Masalah
Gejolak
moneter yang mulai terjadi pada bulan Juli 1997 di Indonesia, mengakibatkan
lengsernya Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal
21 Mei 1998. Kondisi ini telah menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia
dalam valuta asing, terutama terhadap kreditor luar negeri menjadi membengkak
luar biasa sehingga mengakibatkan sebagian besar debitor tidak mampu membayar
utang-utangnya.[1]
Situasi
di atas memaksa masyarakat kreditor mencari-cari sarana yang dapat digunakan
untuk mendapatkan tagihannya dengan memuaskan, sementara itu Peraturan
Kepailitan yang ada yaitu Failliissement-verordening
tidak dapat diandalkan (tidak memadai) lagi untuk mencapai tujuan
memperoleh kembali apa yang menjadi haknya untuk menyelesaikan masalah
kepailitan.
Berdasarkan
hal tersebut, International Monetary Fund
(IMF) mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau
mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana
penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya. Desakan
IMF itu ditanggapi Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 (PERPU
Kepailitan).[2]
Setelah beroperasi selama kurang lebih 6 (enam) tahun, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Masalah
utama dewasa ini, para hakim dalam praktik menerapkan Undang-Undang Kepailitan
secara legistis, mendasarkan pada “syarat-syarat pailit” sebagaimana termaktub
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Sebagaimana juga Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 yang digantikannya, sedangkan “syarat-syarat pailit”
tersebut tidak rasional, karena permohonan kepailitan dapat diajukan dan
putusan pailit oleh Pengadilan Niaga dapat diajukan terhadap debitor yang masih
solven.
Sebagaimana
diketahui, sebelum gejolak moneter tahun 1997, Indonesia telah memiliki
peraturan kepailitan, yaitu Faillissements-verordening
S.1905-217 jo S.1906 – 348. Sekalipun sejak Indonesia merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945 sampai saat Faillissements-verordening tersebut
diubah dan ditambah, syarat-syarat kepailitan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal
1 peraturan kepailitan tersebut tidak pernah dipermasalahkan oleh dunia usaha.
Menurut Pasal 1 Faillissements-verordening tersebut, syarat untuk dapat mengajukan
permohonan pailit adalah “setiap debitor yang berada dalam keadaan berhenti
membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas
permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan
putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam
keadaan pailit”.
Syarat-syarat
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
Faillissements-verordening tersebut
hanya memberikan kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap
debitor yang telah berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang-utangnya. Artinya,
debitor tersebut telah dalam keadaan insolven.
Ketentuan
mengenai syarat pailit sebagaimana dimaksud sebelum diatur dalam Faillissements-verordening, diatur dalam
ketentuan perundang-undangan yang terpisah bagi pedagang. Bagi pedagang termuat
dalam peraturan tentang ketidak mampuan pedagang, yakni dalam Wet Boek van
Koophandel (WvK), buku ketiga yang berjudul van
de voorziening in geval van onvermogen van kooplieden. Sedang bagi
orang-orang bukan pedagang, termuat dalam peraturan tentang keadaan nyata-nyata
tidak mampu, yakni dalam Reglement op de
Rechtsvordering (Rv), staatblad tahun 1847 nomor 52 juncto staatblad tahun 1949 nomor 63, buku ketiga, bab ketujuh yang
berjudul Den staat van kennelijk
onvermogen Pasal 899 sampai dengan 915.[3]
Dari
sejarah sebelum diaturnya syarat-syarat pailit dalam Faillissements-verordening, meskipun masih terpisah, namun telah
menyatakan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit, baik bagi pedagang
maupun bagi bukan pedagang, sebagaimana dapat dilihat dari kedua judul
ketentuan syarat-sayarat pailit yakni WvK dan Rv yang berlaku pada waktu itu,
adalah tidak mempunyai (onvermogen)
seseorang untuk membayar utangnya.
Setelah
tidak dipisahkan lagi ketentuan tentang syarat-syarat pailit bagi pedagang dan
bukan pedagang, maka yang dimaksud dalam Faillissements-verordening
(Fv) dengan setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali
utang, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Faillissements-verordening,
adalah setiap debitor yang dalam keadaan berhenti membayar kembali utangnya,
karena tidak mampu membayar utangnya, yang terjadi karena keadaan finansialnya
atau aset yang tidak cukup.[4]
Sejak
diberlakukannya undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian diganti dengan
undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka debitor yang masih dalam keadaan solven-pun juga dapat dimohonkan oleh
kreditor untuk dinyatakan pailit asal memenuhi syarat yang ditentukan dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Berdasarkan pasal tersebut, seorang
debitor dapat dinyatakan pailit jika mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.[5]
Permasalahan
mengenai syarat-syarat pailit baru muncul setelah dibentuknya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian
telah diterima dan disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut bukan sekedar menggantikan Faillissements-verordening tetapi
mengubah dan menambah isinya. Termasuk yang diubah dari Faillissements-verordening adalah syarat-syarat kepailitan yang
disebutkan dalam Pasal 1 Faillissements-verordening.[6]
Bunyi syarat-syarat kepailitan diubah menjadi berbunyi, “debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri,
maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.
Dengan
diubahnya syarat-syarat pailit tersebut, maka bukan hanya debitor insolven saja yang dapat diputuskan
pailit oleh Pengadilan Niaga tetapi juga debitor yang masih solven. Perubahan syarat-syarat pailit
tersebut telah menjadi ancaman bagi perkembangan dunia usaha, yang lebih lanjut
tidak mustahil dapat menimbulkan bencana bagi perekonomian nasional.
Sangat
disayangkan, ternyata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang yang menggantikan undang-undang Nomor 4
Tahun 1998 masih mengadopsi syarat-syarat pailit yang tidak berbeda dengan
syarat-syarat pailit menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut.
Syarat-syarat pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah “Debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang,
baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih
kreditornya”.[7]
Seperti dalam piutang
inter group/afiliasi debitur pailit kepada Termohon (PT Kodeco Timber), sesuai
laporan keuangan PT. Kodeco Batulicin Plywood (dalam pailit) untuk tahun yang
berakhir 19 Oktober 2003 dan laporan auditur independen oleh Abdul Aziz,
Auditur Independen yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas atas permintaan Kurator
debitur pailit, sebesar Rp. 62.569.960.425,- (enam puluh dua milyar lima ratus
enam puluh sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu empat ratus dua puluh
lima rupiah). Dan
hutang lainnya CV. Putra Jaya per Mei 2001 sebesar Rp.
35.470.000,-, UD. Pentaco Adhikarsa per Agustus 2002 sebesar Rp. 172.686.500,-,
PD. Mercury Power Engineering per Mei 2002 sebesar Rp. 24.043.000,-, UD. Tirta
Sari Mulia Jaya dan Tirta Sari Utama per Agustus 2001 Rp. 5.250.000,-, Metalindo
per Mei 2003 sebesar US$ 1,420,-, UD. Bina Jaya per Mei 2001 sebesar Rp.
3.586.500,- dan hutang yang telah jatuh tempo kepada PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Yaitu KMK Ekspor, maksimum sebesar USD 403.769, KMK Aflopend, maksimum
sebesar USD 1.395.151, Interest Baloon Payment, maksimum sebesar Rp.
2.819.246.992,-.[8]
Berdasarkan kasus permohonan pailit PT
Kodeco Batulicin Plywood melawan PT Kodeco Timber di atas, maka penulis membuat
judul makalah : PENYELESAIAN KASUS
PAILIT YANG DIAJUKAN OLEH PT KODECO BATULICIN PLYWOOD KEPADA PT KODECO TIMBER
DI PENGADILAN NIAGA SAMPAI DENGAN MAHKAMAH AGUNG.
B.
Permasalah
Penulis
angkat dalam makalah ini adalah mengenai duduk perkara yaitu : bahwa Pemohon
melalui Kuasa Hukumnya telah mengajukan permohonannya tertanggal 01 Nopember
2004 yang didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada tanggal 01 Nopember 2004 dibawah Daftar Nomor: 044/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT.PST
telah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon dengan
alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Bahwa
sesuai putusan Mahkamah Agung RI No. 010 PK/N/ 2003 tanggal 20 Oktober 2003,
PT. KODECO BATULICIN PLYWOOD (debitur pailit) telah dinyatakan dalam keadaan
pailit dan telah ditunjuk Hariyati, SH sebagai Kuratornya (Bukti P-1) dan untuk
tindakan hukum ini telah memperoleh izin dari Hakim Pengawas (Bukti P-2) ;
2. Bahwa
dalam menjalankan kewenangan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit,
tercatat adanya piutang inter group/afiliasi debitur pailit kepada Termohon,
sesuai laporan keuangan PT. KODECO BATULICIN PLYWOOD (dalam pailit) untuk tahun
yang berakhir 19 Oktober 2003 dan laporan auditur independen oleh Abdul Aziz,
Auditur Independen yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas atas permintaan Kurator
debitur pailit, sebesar Rp. 62.569.960.425,- (enam puluh dua milyar lima ratus
enam puluh sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu empat ratus dua puluh
lima rupiah) (Bukti P-3);
3. Bahwa
Termohon mengakui adanya piutang debitur pailit, sebagaimana dapat dibaca dari
Report of financial statement PT. Kodeco Timber as of Desember 31, 2002 (Bukti
P-4) ;
4. Bahwa
pinjaman Inter Group Batulicin dari Termohon sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih dan hal mana telah disampaikan kepada Termohon oleh Pemohon dengan
surat No. 54/DH/KP/ V/2004 tanggal 4 Mei 2004 (Bukti P-5) agar pinjaman
tersebut diselesaikan karena akan dimasukkan ke dalam harta pailit yang
nantinya dipergunakan untuk membayar hutang debitur pailit kepada para kreditur
yang terdaftar dan diakui satu dan lain sesuai daftar hutang PT. KODECO
BATULICIN PLYWOOD (dalam pailit) yang diakui tanggal 6 September 2004 yang
telah ditandatangani oleh Hakim Pengawas, Agus Subroto, SH. MH., dan Kurator
Hariyati, SH (Bukti P-6) ;
5. Bahwa
sejak surat tersebut dikirimkan oleh Pemohon kepada Termohon, hingga kini tidak
ada tanggapan dari Termohon dan di lain pihak kepentingan hukum Pemohon sudah
mendesak untuk segera melakukan pembayaran hutang-hutang debitur pailit
terhadap para krediturnya sesuai Bukti P-6 ;
6. Bahwa
Termohon di samping mempunyai hutang kepada Pemohon, juga mempunyai hutang yang
telah jatuh tempo kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (Bukti P-7),
berupa :
- KMK Ekspor, maksimum sebesar USD 403.769,
- KMK
Aflopend, maksimum sebesar USD 1.395.151,
- Interest
Baloon Payment, maksimum sebesar Rp. 2.819.246.992,-
Juga
hutang-hutang dagang yang telah jatuh tempo, dimana tagihan tersebut telah
diajukan oleh kreditur-kreditur yang bersangkutan kepada Kurator debitur pailit
dan ditolak dan proses pencocokan utang karena merupakan hutang pihak lain
(Termohon), diantaranya kepada :
6.1.CV. Putra Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 35.470.000,-
(Bukti P-8) ;
6.2.UD. Pentaco Adhikarsa per Agustus 2002 sebesar
Rp. 172.686.500,- (Bukti P-9) ;
6.3.PD. Mercury Power Engineering per Mei 2002
sebesar Rp. 24.043.000,- (Bukti P-10)
6.4.UD. Tirta Sari Mulia Jaya dan Tirta Sari Utama
per Agustus 2001 Rp. 5.250.000,- (Bukti P-11) ;
6.5.Metalindo per Mei 2003 sebesar US$ 1,420 (Bukti
P-12) ;
6.6.UD. Bina Jaya per Mei 2001 sebesar Rp.
3.586.500,- (Bukti P-13) ;
7. Bahwa
kondisi Termohon memang sudah tidak memungkinkan lagi berusaha, karena historis
antara debitur pailit dan Termohon adalah satu group terbukti dari pinjaman
Inter Group (vide bukti-bukti P-3, P-4 dan P-5) yang satu dengan lain saling
melengkapi, sehingga dengan pailitnya debitur pailit berimbas pula bagi
Termohon, sehingga jangankan hutang yang besar yang kecil pun tidak sanggup
dilunasi oleh Termohon (vide Bukti-bukti P-8 sampai dengan P-13) ;
8. Bahwa dari
uraian-uraian diatas telah terdapat fakta dan terbukti secara sederhana, bahwa
- Termohon
adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur ;
- Termohon
adalah debitur yang tidak membayar sedikitnya satu utang ;
- Hutang-hutang
tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditarik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Kepailitan ;
9. Bahwa
untuk kepentingan pemberesan harta pailit dan diperlukannya seorang Kurator
guna melakukan tugas dan kewenangan Kurator sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Kepailitan, maka Pemohon mengusulkan kepada Majelis Hakim untuk
mengangkat :[9]
Berdasarkan
duduk perkara yang telah dijelaskan di atas, maka diperoleh rumusan sebagai
berikut :
·
Bagaimana Penyelesaian Kasus PT Kodeco
Batulicin Plywood melawan PT Kodeco Timber di Pengadilan Niaga sampai dengan
Mahkamah Agung?
C.
Analisa
Oleh
karena itu untuk menganalisa kasus PT Kodeco Batulicin Plywood melawan PT Kodeco
Timber digunakanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan tidak menggunakan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Tentang Kepailitan, Faillissent-verordening
staatblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto
staatblad Tahun 1906 No.348. Karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
4 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan jaman setelah gejolak moneter
ditahun 1997-1998. Dan Pemohon melalui Kuasa Hukumnya telah mengajukan
permohonannya tertanggal 01 Nopember 2004 yang didaftarkan pada Kepaniteraan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 01 Nopember
2004 dibawah Daftar Nomor: 044/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT.PST telah mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon (PT Kodeco Timber), oleh karena
itu digunakanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai bahan analisis yang legistis dan
tekstual dalam menyesuaikan perkembangan jaman bahwa perkara tersebut diajukan
ditahun 2004.
Menurut
H. Ph. Visser’t Hooft, ada tiga yang menjadi acuan dasar dalam analisis yaitu :
POSITIVITAS. Dalam
putusan pengadilan Niaga Nomor 044/Pailit/2004/PN.Niaga. Jkt.Pst. hakim
memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak karena tidak bisa dibuktikan secara
sederhana oleh pemohon (PT Kodeco Batulicin Plywood) karena laporan keuangan
ini lebih berupa pernyataan sepihak tanpa adanya pengakuan dari pihak yang
berhutang yaitu Termohon dan tidak didukung dengan bukti-bukti lain, dengan
kata lain jumlah hutang Termohon sebesar Rp. 62.569.960.425,- (enam puluh dua
milyar lima ratus enam puluh sembilan juta sembilan enam puluh juta empat ratus
dua puluh lima rupiah) masih perlu dibuktikan asal usul timbulnya hutang,
karenanya dapat disimpulkan laporan keuangan tersebut (bukti P-3) tidak
mempunyai kekuatan pembuktian tentang utang Termohon kepada PT. Kodeco
Batulicin Plywood, sehingga pembuktian tentang adanya hutang menjadi tidak
sederhana sehingga PT Kodeco Batulicin Plywood tidak bisa dinyatakan pailit
oleh putusan Pengadilan Niaga.
Mengenai
adanya utang merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) yang harus
terbukti secara sederhana (vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU), sebagaimana telah dipertimbangkan diatas
bahwa utang tersebut tidak dapat terbukti secara sederhana, oleh karenanya
persyaratan untuk menyatakan Termohon pailit tidak terpenuhi, dengan demikian
Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum maka permohonan dinyatakan
ditolak untuk seluruhnya di Pengadilan Niaga.
Permohonan
dinyatakan tidak beralasan menurut hukum karena bukti-bukti permohon pemohon tidak
bisa membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain untuk
dibuktikan secara sederhana, yang ketentuan terdapat di dalam pasal 2 ayat (1),
pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sedangkan
putusan hakim Mahkamah Agung Nomor 02 K/N/2005 memutuskan bahwa menguatkan
pendapat Pengadilan Niaga untuk tidak memailitkan PT Kodeco Timber dan menolak
permohonan pemohon (PT Kodeco Batulicin Plywood).
KOHERENSI. Harus ada
sinkronisasi titik taut antara aturan legistis yang terdapat di dalam Undang-undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dengan putusan hakim Pengadilan
Niaga dan Mahkamah Agung. Yang dalam pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti
secara sederhana (vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU), sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa utang
tersebut tidak dapat terbukti secara sederhana, oleh karenanya persyaratan
untuk menyatakan Termohon pailit tidak terpenuhi, dengan demikian Permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum maka permohonan dinyatakan ditolak untuk
seluruhnya di Pengadilan Niaga. Padahal dalam kenyataannya PT Kodeco Timber berhutang
kepada kreditor yaitu; PT Kodeco Batulicin Plywood sebesar Rp. 62.569.960.425,-.
hutang lainnya CV.
Putra Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 35.470.000,-, UD. Pentaco Adhikarsa per
Agustus 2002 sebesar Rp. 172.686.500,-, PD. Mercury Power Engineering per Mei
2002 sebesar Rp. 24.043.000,-, UD. Tirta Sari Mulia Jaya dan Tirta Sari Utama
per Agustus 2001 Rp. 5.250.000,-, Metalindo per Mei 2003 sebesar US$ 1,420,-,
UD. Bina Jaya per Mei 2001 sebesar Rp. 3.586.500,- dan hutang yang telah jatuh
tempo kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Yaitu KMK Ekspor,
maksimum sebesar USD 403.769, KMK Aflopend, maksimum sebesar USD 1.395.151,
Interest Baloon Payment, maksimum sebesar Rp. 2.819.246.992,-. Dan tidak
terjadi kesesuaian antara pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti secara sederhana
(vide pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU), dengan fakta dilapangan bahwa debitor berhutang lebih dari pada 1 kreditor.
Walaupun termohon bisa lebih dari 1 kreditor, tetapi dalam laporan keuangan
permohonan pailit yang diajukan pemohon ke persidangan dan tidak ada aslinya,
maka tidak dianggap sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat
membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain.
Sudah menjadi rahasia
umum bahwa definisi pailit secara sederhana adalah bahwa aset lebih kecil dari
pada hutang. Dan untuk PT Kodeco
Batulicin Plywood dalam perkara di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung terbukti
perkara selalu dimenangkan oleh PT Kodeco
Batulicin Plywood. Yang dalam fakta persidangan, bahwa PT Kodeco Batulicin
Plywood mempunyai aset lebih besar dari pada utang dan tidak bisa dipailitkan,
oleh lawan-lawannya yaitu; PT Kodeco Timber, CV. Putra Jaya. UD. Pentaco
Adhikarsa, PD. Mercury Power, UD. Tirta Sari Mulia Jaya, Tirta Sari Utama,
Metalindo, UD. Bina Jaya dan PT. Bank Negara Indonesia (Persero), yang tidak bisa
membuktikan laporan keuangan secara asli.
Sedangkan apabila kita
kembali lagi kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun RI Nomor 029 K/N/2001
tanggal 05 September 2001 yang berbunyi: “bahwa neraca atau laporan tidak bisa membuktikan
adanya kreditor lain dari termohon pailit” dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor 06 K/N/2003 tanggal 15 April 2003 yang berbunyi: “laporan keuangan dari
termohon pailit yang diajukan oleh pemohon ke persidangan dan tidak ada
aslinya, maka tidak dianggap sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat
membuktikan keadaan termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain”.
Maka
perkara kepailitan tersebut tidak dapat diperiksa dengan pembuktian sederhana,
sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004.
KEADILAN. Seharusnya
antara isi pasal 2 ayat (1) yang harus terbukti secara sederhana (vide pasal 8
ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU), yang
harus ada kesesuaian dengan putusan hakim di Pengadilan Niaga dan hakim di
Mahkamah Agung supaya terjadi keadilan dan objektivitas diantara para pihak
yang berperkara baik oleh PT Kodeco Batulicin Plywood dan PT Kodeco Timber.
Sudah terbukti fakta dilapangan bahwa laporan keuangan dari termohon pailit
yang diajukan pemohon ke persidangan dan tidak ada aslinya, maka tidak dianggap
sebagai bukti dan laporan keuangan, serta tidak dapat membuktikan keadaan
termohon pailit berhutang terhadap kreditor lain. Dan putusan yang dijatuhkan
hakim pengadilan niaga dan hakim mahkamah agung dirasa objektif dan adil bagi
para pihak yang berperkara.
4.
Kesimpulan/Usul
Hakim
Pengadilan Niaga dan Hakim Mahkamah Agung sudah memutuskan dalam putusannya
bahwa PT Kodeco Batulicin Plywood tidak dapat dinyatakan pailit oleh PT Kodeco
Timber karena hakim sudah memutus dengan objektif bukti dan fakta yang ada
dilapangan bahwa laporan keuangan dari termohon pailit yang diajukan pemohon ke
persidangan dan tidak ada aslinya, maka tidak dianggap sebagai bukti dan
laporan keuangan, serta tidak dapat membuktikan keadaan termohon pailit
berhutang terhadap kreditor lain. Sehingga hakim jangan melihat legistis apa
yang ada di dalam UU Kepailitan, tetapi juga perlu melihat lebih teliti fakta
dan kenyataan yang ada dilapangan bahwa bukti laporan keuangan yang diajukan
pemohon tidak asli, sehingga ada kesesuaian antara UU Kepailtan dan bukti yang
ada.
Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)
[1] Sutan Remy Sjahdeini. Hukum
Kepailitan, penerbit : Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 29.
[2] Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit.,
hlm. 28.
[3] Djohansyah, J, dalam Penyelesaian Utang atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Rudhy A. Lontoh, penerbit : Alumni, 2001, Bandung, hlm
23.
[4] Djohansjah, J. op cit. hlm.22.
[5] Djohansjah, J. Op Cit. hlm.22.
[6] Vide pasal 1 FV.
[7] Arbijoto, Ringkasan Disertasi
“Kepastian, Keadilan, dan Manfaat Undang-Undang Kepailitan Indonesia bagi
Debitor dan Kreditor” (Suatu Tinjauan Yuridis Filosofis tentang Syarat-Syarat
Kepailitan Undang-Undang Kepailitan Indonesia), Program Doktor, Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. hlm.
4.
[8]www.bphn.go.id/data/documents/04pn44.doc.
[9] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar