1.
PENDAHULUAN
Narkotika sebagai salah
satu kejahatan yang grafiknya terus meningkat dari waktu kewaktu. Hampir semua
elemen yang terdapat didalam masyarakat dengan tanpa membedakan status sosial
dapat dimasuki oleh narkotika dan psikotropika, seperti anak-anak, pelajar,
mahasiswa, selebritis, lembaga profesional dan tidak sedikit para oknum
pejabat.
Narkotika merupakan salah
satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang disepakati (concensual crimes).
Semua pihak terlibat dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika. Para pihak
menjadi pelaku dan sekaligus korban. Sebagai tindak pidana yang disepakati,
antara pelaku dan korban telah bersama-sama sepakat dalam tindak pidana ini
sehingga untuk menentukan sebagai korban akan semakin rancu dan tidak jelas.
Indonesia sebagai salah
satu negara di Asia yang semula dijadikan tempat transit narkotika dan
psikotropika telah berkembang menjadi tempat untuk memproduksi narkotika.
Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadikan Indonesia
sebagai pasar potensial narkotika.
Peredaran gelap dan
penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda telah
menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata
sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai
manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan
narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan.[1]
Kemudian di tahun 1976,
dibuatlah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang melarang tentang pembuatan,
penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan
pengawasan karena sangat bertentangan dengan UU Narkotika. Sebab kejahatan
narkotika merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan, masyarakat dan merupakan
bahaya besar bagi sendi kehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang
politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa
Indonesia.
Selain narkotika bisa
untuk disalahgunakan untuk kejahatan, penggunaan narkotika bisa juga digunakan untuk
keperluan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan
menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari
penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika yang pengaturannya terdapat di dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika, sebagai pengganti Verdoovende
Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) yang tidak sesuai
lagi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman pada era setelah tahun
1976.[2]
Selanjutnya ditahun 1997,
dibuatlah UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti UU
No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman setelah tahun 1997. Yang UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika
juga bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan
dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran
gelap narkotika yang selalu menjurus kepada terjadinya penyalahgunaan.
Sedangkan peraturan perundang-undangan
yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan
dengan adanya UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Apalagi tindak pidana
narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang
dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan
teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir (organizeci crime)
dan sudah bersifat transnasional (transnational crime).
Harus disadari bahwa
masalah penyalahgunaan narkotika adalah suatu problema yang sangat komplek. Oleh
karena itu, diperlukan upaya dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan
yang diharapkan dari pelaksanaan UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika, dan semuanya
sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik pemerintah, aparat
keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di sekolah. Sebab penyalahgunaan
narkotika tidak dapat hilang dengan sendirinya meskipun telah dikeluarkan undang-undang
yang mengatur sanksi secara tegas dan juga harus didukung oleh berbagai pihak untuk
mendukung pelaksaan UU narkotika
tersebut.[3]
Kemudian seiring perkembangan
jaman ditahun 2009, maka dibuatlah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan
alasan bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional
yang dilakukan dengan menggunakan modus
operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh
jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan
korban, terutama di kalangan generasi muda
bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi
yang berkembang dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.[4]
2. PERUMUSAN
MASALAH
Apa
latar belakang sejarah hukum mengenai terbentuknya UU No. 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika?
3.
PEMBAHASAN
Narkotika telah dikenal
oleh manusia didunia sejak zaman prasejarah tepatnya di negara Mesopotamia
(sekitar Irak sekarang). Pada zaman sekarang, narkotika bernama Gil
artinya bahan yang menggembirakan. Gil digunakan sebagai obat sakit
perut. Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.[5]
Di Tiongkok Gil
dikenal dengan nama Candu yang dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Dan Candu
sendiri pernah juga menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dengan dipergunakan
sebagai alat subversif oleh pemerintah Inggris untuk menimbulkan perang
yang dikenal dengan perang Candu (The Opium War) pada tahun 1839-1842.[6]
Adapula bahan lain yang
menyerupai Candu yang berkembang di dunia Arab bernama Jadam. Jadam bukan
tergolong obat bius seperti candu yang termasuk dalam V.M.O (Verdoovende
Middelen Ordonantie), tetapi merupakan obat keras yang termasuk dalam SWGO
(Strek Werkende Geneesmiddelen Ordonantie) di tahun 1949.[7]
Gil, (Candu
maupun Jadam) berkembang dalam penggunaannya oleh masyarakat dunia sampai
sekarang. Berbagai macam bentuk Narkotika telah bermunculan baik yang tergolong
alami maupun sintetis (buatan). Perkembangan peredaran narkotika yang begitu cepat
sehingga menimbulkan kasus-kasus kejahatan narkotika yang baru di masyarakat
dunia.
Peredaran dan penggunaan
narkoba di Indonesia dimulai sejak penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan
Belanda, narkoba banyak digunakan oleh masyarakat golongan menengah
(khususnya keturunan Cina) sejak tahun 1617. Sehingga sedemikian membahayakan
penggunaan narkoba tersebut, kemudian pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1927, mengeluarkan VMO Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu
peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.[8]
Dan Pemerintah Hindia
Belanda pun memberikan izin kepada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu
dan pengadaan (supply) secara legal yang dibenarkan berdasarkan
undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara
tradisional, yaitu dengan jalan menghisap melalui pipa panjang.
Hal ini berlaku sampai
tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang
menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane
Ordinance).
Kemudian PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) melalui dominasi negara-negara sekutu yang ada didalamnya,
membuat suatu kesepakatan Internasional untuk mengawasi dan menegendalikan
perdagangan opium. Pengembangan kesepakatan tersebut menjadikan Amerika dan
negara-negara Eropa merupakan pasar potensial bagi obat-obatan berbahan dasar
tumbuhan.
Pada tahun 1961 dibuat
Kesepakatan Tunggal Obat-obatan Narkotika dengan memasukan Candu, Ganja dan
Koka, meskipun secara ilmu farmasi Ganja dan Koka bukan merupakan narkotika.
Pada tahun 1971 PBB membuat kesepakatan Internasional untuk obat-obatan
Psikotropika, bahan-bahan yang bukan berasal dari tumbuhan namun berpotensi
menjadi obat yang dikonsumsi secara meluas di Amerika dan Eropa.
Dan Pada waktu perang
Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua
negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan narkotika sangat meningkat
dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala tersebut
berpengaruh di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.
Penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika di Indonesia pada awal tahun 1970 sudah meluas di
masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar sudah semakin banyak.
Masyarakat dan Pemerintah serta DPR memandang perlu segera dibentuk suatu
undang-undang yang dapat menjangkau setiap bentuk penyalahgunaan narkotika.
Lebih lanjut Soedjono Dirdjosisworo
berpendapat bahwa, “beberapa hal yang menonjol mengenai pernyataan ini antara
lain adalah sebagai berikut. Kecendrungan kecanduan dan ketagihan narkotika
yang membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta
mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Dari segi
ketentuan-ketentuan pidana dan acara peradilan pidana telah pula mencerminkan
kenyataan bahwa V.M.O tidak memenuhi sebagai syarat sebagai Undang-undang
Narkotika, disamping tidak cocok lagi dengan kenyataan administrasi peradilan
pidana pada tahun 1970.[9]
Selain penyalahgunaan
narkotika terdapat jenis kejahatan yang muncul pada tahun 1970 dan menggangu
stabilitas politik serta keamanan dalam rangka menjamin suksesnya pembangunan
nasional. Pada tanggal 8 September 1971, Presiden mengeluarkan Intruksi No. 6
tahun 1971 kepada Kepala Bakin untuk memberantas masalah-masalah yang
mengahambat pelaksanaan pembangunan nasional.
Terdapat 6 (enam)
permasalahan pokok yang harus diberantas berdasarkan Inpres No. 6 tahun 1971,
yaitu:[10]
1.
Kenakalan remaja,
2.
Penyalahgunaan narkotika,
3.
Penyelundupan,
4.
Uang palsu,
5.
Subversif, dan
6.
Pengawasan orang asing.
Inpres No. 6 tahun 1971
belum mampu menjangkau masalah penyalahgunaan narkotika. Selanjutnya Ketentuan-ketentuan
yang bersumber dari ketentuan lama yang memiliki kelemahan dinilai sebagai
penyebabnya. Kelemahan tersebut adalah:
1.
Tidak adanya keseragaman didalam pengertian
narkotika,
2.
Sanksi terlalu ringan bila dibanding dengan
akibat penyalahgunaan narkotika,
3.
Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban
terhadap penjual, pemilik, pemakai, pengedar dan penyimpan narkotika,
4.
Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana
mengenai narkotika,
5.
Belum ada badan bertingkat nasional yang
khusus menangani masalah penyalahgunaan narkotika,
6.
Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor
terhadap penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat,
7.
Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang
berjasa dalam penyelidikan-penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.
Disamping itu, terdapat
faktor yang berperan penting dalam mendorong dibentuknya Undang-Undang Narkotika.
Faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Faktor partisipasi sosial.
Adanya partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan narkotika setelah badan koordinasi Inpres No. 6
tahun 1971 mulai bekerja. Kesadaran sosial yang timbul didalam masyarakat
didukung oleh media komunikasi massa terutama dari kalangan pers. Partisipasi
juga timbul dari kalangan ilmuwan termasuk ahli medis dan ahli hukum.
Melalui partisipasi sosial
ini terungkap bahwa salah satu kesukaran dalam memberantas para pengedar
narkotika adalah kesenjangan undang-undang yang berlaku saat itu. Undang-undang
obat bius (V.M.O) sudah tidak cocok dan tidak mampu mengakomodasi pengaturan
penggunaan maupun penindakan terhadap penyalahgunaan narkotika.
Berdasarkan hasil seminar
kriminologi II Semarang pada tahun 1972, mendesak kepada pembuat undang-undang
untuk secepatnya menerbitkan Undang-undang tentang Narkotika.
2.
Pelaksanaan Pelita I (1969-1974).
Pelita I merupakan
pencanangan era pembangunan yang merupakan perwujudan tekad Orde Baru untuk
mengisi kemerdekaan dengan pembangunan bertahap dan terencana. Guna mewujudkan
tekad tersebut, pemerintah Orde Baru menekankan pada masalah-masalah sosial
yang dapat mengganggu jalannya pembangunan. Sehingga memerlukan pengaturan oleh
hukum yang mantap sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3.
Undang-undang sebagai sarana prevensi umum
terhadap kriminalitas.
Upaya mengahadapi bahaya
narkotika secara yuridis, pemerintah didukung oleh kalangan ahli dan praktisi untuk
memahami pentingnya undang-undang narkotika. Persepsi kalangan mengenai relevan
dan urgen hadirnya undang-undang narkotika nasional yang baru merupakan
dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang narkotika.[11]
Dengan melihat berbagai
dampak yang ditimbulkan maka pemerintah Indonesia memandang perlu untuk segera
membuat suatu peraturan perundang-undangan tentang narkotika yang baru. Karena
dampak bahaya dari narkotika itu sendiri yaitu dapat menimbulkan kecanduan dan
ketergantungan bagi si pemakai yang penggunaannya diluar pengawasan dokter,
juga kemungkinan bahaya besar bagi kehidupan bernegara baik dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan maupun ketahanan nasional
bangsa Indonesia.
Kemudian di dalam kemajuan teknologi
dan perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, menyebabkan Undang-Undang
narkotika warisan Belanda pada tahun 1927 yaitu, Verdoovende
Middelen Ordonnantie (Staatsblad
1927 No. 278 jo No. 536) yang sudah
tidak sesuai lagi setelah di tahun 1976. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan
Undang-Undang No. 9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut
antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit
traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban
narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan
rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. [12]
Ketentuan yang ada di dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika pada
dasarnya berhubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat
perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran atau pemasukan
narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai
dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai untuk dapat
mencapai hasil yang diharapkan.
Sehingga UU
No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman di waktu itu, karena yang diatur didalamnya hanyalah
mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang ada di dalam peraturan yang
dikenal dengan istilah Verdoovende
Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan
untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.
Adapun narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan
dalam dunia pengobatan, demikian juga dalam bidang penelitian, yaitu untuk
tujuan pendidikan, pengembangan ilmu, dan penerapannya. Meskipun ada bahayanya,
namun masih dapat dibenarkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan,
dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan
ilmu pengetahuan, maka dalam UU
No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dibuka kemungkinan untuk mengimpor
narkotika, mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika, menanam,
memelihara Papaver, Koka dari Ganja.
Disamping manfaatnya tersebut, narkotika apabila disalahgunakan
atau salah pemakaiannya, dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat
merugikan bagi perorangan serta menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta
nilai-nilai kebudayaan. Karena itu penggunaan narkotika hanya dibatasi untuk
kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan pemakaian narkotika dapat berakibat jauh dan
fatal serta menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika
untuk kemudian berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala
cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku.
Dalam hal ini, tidak mustahil kalau penyalahgunaan narkotika adalah merupakan
salah satu sarana dalam rangka kegiatan subversi.
Di dalam UU
No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, telah diatur berbagai masalah yang
berhubungan dengan narkotika, yang meliputi pengaturan mengenai :
1. Ketentuan
tentang pengertian dan jenis narkotika.
2. Ketentuan
tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti; penanaman, peracikan,
produksi, perdagangan, lalu-lintas, pengangkutan serta penggunaan narkotika.
3. Ketentuan
tentang wajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan-kegiatan
sebagai tersebut dalam angka 2.
4. Ketentuan
yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan
Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang karena
kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari
ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan
khusus, tidak berarti bahwa hak azasi tersangka atau terdakwa tidak dijamin
atau dilindungi, bahkan diusahakan sedemikian rupa, sehingga penyimpangan dan
pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh hak azasi tersangka
atau terdakwa, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi
menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang ditimbulkan karena
penyalahgunaan narkotika. Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahwa dalam
pemeriksaan di depan Pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan
perkara yang sedang dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja menyebut nama,
alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor
(Pasal 28).
5. Ketentuan
yang mengatur tentang pemberian ganjaran (premi).
6. Ketentuan
tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika.
7. Ketentuan
lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam penanggulangan
masalah yang ditimbulkan oleh narkotika.[13]
Selain dari bahaya
penyalahgunaan narkotika dapat berakibat fatal, penyebaran narkotika di
Indonesia juga telah berkembang menjadi pasar (konsumen), wilayah transit, dan
bahkan menjadi produsen gelap narkotika. Padahal awalnya, Indonesia hanyalah
negara transit yang melayani pasar ilegal di New Zealand dan Australia. UNODC (United
Nation Office on Drugs and Crime) bahkan memasukkan Indonesia sebagai
negara yang berkembang menjadi sentra pembuatan bahan sistetis ekstasi (emerging
for the synthesis of ecstasy). Tingkat penyalahgunaan narkotika di
Indonesia memang telah mencapai pada taraf yang serius dan memprihatinkan.
Tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang terbebas dari narkoba.
Bahkan posisi Indonesia
juga telah berada pada posisi silang antara Benua Asia dan Australia serta
antara Samudera Hindia dan Indonesia, dan juga sebagai negara kepulauan dengan
jumlah pulau yang begitu besar dan garis pantai yang panjang, menjadikannya
rentan terhadap perdagangan ilegal narkotika. Kondisi ini ditambah dengan
jumlah penduduk yang besar, mencapai kurang lebih 215 juta jiwa dengan 40%
diantaranya adalah generasi muda yang merupakan kelompok rentan bagi
penyalahgunaan narkotika. Banyaknya pintu masuk (entry point) yang masih
kurang terawasi, terutama 22 bandar udara yang memfasilitasi penerbangan dari
dan ke luar negeri, seperti Soekarno-Hatta, Polonia, Ngurah Rai, Sam Ratulangi,
Sepinggan dan juga 124 titik pelabuhan laut, termasuk pelabuhan laut container
serta belum termasuk pelabuhan gelap, menambah suram jalur penyelundupan
narkotika di Indonesia.
Oleh karena itu, dengan semakin
merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika
mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang
baru. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana
terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa
hukuman mati.
Untuk memberikan kepastian
hukum dalam upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, maka
sebagai dasar hukum undang-undang narkotika adalah sebagai berikut:
1.
Undang-undang Dasar 1945,
2.
UU No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Kesehatan,
3.
Intruksi Presiden No. 6 Tahun 1971,
4.
UU No.13 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian,
5.
UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kesehatan,
6.
UU No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi,
7.
UU No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa,
8.
UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
9.
UU No. 6 Tahun 1976 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
10. UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi
Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya,
11. UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Dengan mengingat
dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut diatas, maka pemerintah
memutuskan:
1.
Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen
Ordonantie) tahun 1927 No. 278 jo. No. 536 sebagaimana telah diubah dan
ditamabah,
2.
Memperbaharui UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 No. 36, Tambahan Lembaran Negara No. 3086),
3.
Menetapkan UU No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1997 No. 67, Tambahan Lembaran Negara No.
3698).[14]
Selain itu, ada alasan kuat
yang mendasari penggantian UU No. 9 Tahun 1976 tentang narkotika, menjadi UU
No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika, yaitu di dalam Pembangunan
nasional Indonesia yang bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus dalam usaha-usaha
di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika
sebagai obat, disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan.[15]
Menurut UU No 22 Tahun 1997, Narkotika adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Narkotika terdiri dari 3 golongan :
1.
Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Ganja.
2.
Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Morfin, Petidin.
3.
Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Codein.[16]
Selain narkotika
dimanfaatkan untuk penelitian, narkotika juga sangat bermanfaat dan diperlukan
untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau
digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika diserta dengan
peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan
perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan
bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada
akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Adapun peningkatan,
pengendalian dan pengawasan sebagai upaya dalam mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan karena kejahatan
narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri,
melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang
terorganisasi dan rahasia.
Disamping itu,
kejahatan narkotika bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus
operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan
narkotika. Sedangkan dari perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut
sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Dengan
demikian, Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika yang diharapkan
lebih efektif dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika diwilayah negara republik Indonesia.
Oleh karena itu, Undang-Undang
No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika kemudian diganti menjadi Undang-Undang No.
22 tahun 1997 tentang Narkotika, yang mempunyai cakupan lebih luas baik dari
segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat.
Cakupan yang lebih luas tersebut, selain berdasrkan pada faktor-faktor diatas
juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam
ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Beberapa materi
baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan
narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika
sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka
waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang
diawasi dan pembelian terselubung dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana narkotika sudah sangat modern.
Dalam rangka memberi
efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika,
perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum,
mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran
narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.
Untuk lebih menjamin
efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan
sebuah badan koordinasi tingkat nasional dibidang narkotika dengan tetap
memperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[17]
Kemudian dalam perkembangannya,
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009
tentang narkotika, yang mendasarkan pada alasan bahwa narkotika
merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan
untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan
atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan
dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau
masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih
merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan
dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional.
Untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan
dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, dan pada Sidang Umum
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah
merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden
Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman
pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping
itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan
Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi
medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana narkotika di dalam
masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara
kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan
anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara
perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama,
bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas
yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun
internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk
mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak,
remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap
Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika
karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam UU
No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika, juga dilampirkan mengenai
Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis
Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi
penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan
efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam
bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana
penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan
dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan
Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor
83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan
Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural
yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang
hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, peran BNN tersebut ditingkatkan menjadi
lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di
daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN
provinsi dan BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula
mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dirampas untuk negara dan
digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya
rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin
canggih, dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur
mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian
terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled
delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara
terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur mengenai kerja sama,
baik bilateral, regional, maupun internasional.
Dan di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk
pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.[18]
Selain peran serta
masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkotika yang sudah dijelaskan di atas, perlu juga untuk diketahui beberapa jenis narkotika yang terbagi menjadi
beberapa golongan menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diantaranya :
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1.
Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah
dan jeraminya, kecuali bijinya.
2.
Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver
Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan
pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3.
Opium masak terdiri dari :
a.
candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan
khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan
bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok
untuk pemadatan.
b.
jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu
itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c.
jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4.
Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae
termasuk buah dan bijinya.
5.
Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari
semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang
menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
6.
Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat
diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7.
Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8.
Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari
tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian
tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9.
Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo
kimianya.
10.
Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11.
Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,
14-endoeteno-oripavina.
12.
Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.
13.
Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14.
Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil]
priopionanilida
15.
Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil]
propionanilida
16.
Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4
piperidil] propio-nanilida.
17.
Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18.
Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
19.
Heroina : Diacetilmorfina
20.
Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina
21.
3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22.
3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil]
propionanilida
23.
MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24.
Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25.
PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26.
Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27.
BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina DOB
28.
DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
29.
DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
30.
DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9,
10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6Hdibenzo[ b, d]piran-1-ol
31.
DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
32.
DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina
33.
ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34.
ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole
35.
KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
36.
( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β
–
LSD,
LSD-25 karboksamida
37.
MDMA : (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
38.
Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39.
METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
40.
4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41.
MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
42.
N-etil MDA : (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
43.
N-hidroksi MDA : (±)-N-[ α -metil-3,4-
(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44.
Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo
[b,d]
piran-1-ol
45.
PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina
46.
psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
47.
PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48.
ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
PHP,PCPY
49.
STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50.
TENAMFETAMINA, nama lain : α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina MDA
51.
TENOSIKLIDINA, nama lain : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina TCP
52.
TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
53.
AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina
54.
DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina
55.
FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
56.
FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57.
FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
58.
LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)- α –metilfenetilamina levamfetamina
59.
Levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
60.
MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61.
METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
62.
METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
63.
ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1- piperazinetano
64.
Opium Obat
65.
Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
1.
Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
2.
Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
3.
Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4.
Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5.
Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-
4-(metoksimetil)-4-pipe
ridinil]-N-fenilpropanamida
6.
Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7.
Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-
karboksilat
etil ester
8.
Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9.
Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat
etil ester
10.
Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11.
Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
12.
Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
13.
Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
14.
Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
15.
Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1- benzimidazolinil)-piperidina
16.
Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-
morfolina
17.
Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18.
Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
19.
Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat
etil ester
20.
Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
21.
Dihidromorfina
22.
Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23.
Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
24.
Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
25.
Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
26.
Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27.
Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
28.
Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan
kokaina.
29.
Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30.
Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-karboksilat
etil ester
31.
Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol
32.
Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
33.
Hidrokodona : dihidrokodeinona
34.
Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat
etil ester
35.
Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36.
Hidromorfona : dihidrimorfinona
37.
Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
38.
Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39.
Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40.
Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
41.
Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
42.
Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
Etil ester
43.
Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44.
Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
45.
Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46.
Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47.
Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil]
morfolina
48.
Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49.
Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50.
Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51.
Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52.
Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53.
Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54.
Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
55.
Metopon : 5-metildihidromorfinona
56.
Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57.
Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana
karboksilat
58.
Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil
ester
59.
Morfina-N-oksida
60.
Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk
bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61.
Morfina
62.
Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
63.
Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
64.
Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
65.
Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66.
Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67.
Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68.
Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69.
Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70.
Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71.
Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72.
Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73.
Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
74.
Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat
etil ester
75.
Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-
Karbosilat armida
76.
Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
77.
Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
78.
Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
79.
Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
80.
Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81.
Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil]
propionanilida
82.
Tebaina
83.
Tebakon : asetildihidrokodeinona
84.
Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat
85.
Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86.
Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
1.
Asetildihidrokodeina
2.
Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol
propionat
3.
Dihidrokodeina
4.
Etilmorfina : 3-etil morfina
5.
Kodeina : 3-metil morfina
6.
Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7.
Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8.
Norkodeina : N-demetilkodeina
9.
Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10.
Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
11.
Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]- 6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
12.
Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13.
Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14.
Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.[19]
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan pokok permasalahan yang dapat
penulis simpulkan, mengenai latarbelakang pembentukan UU No. 9 Tahun 1976, UU
No. 22 Tahun 1997, dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat disebabkan
oleh beberapa hal :
1.
Semakin meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan
Narkotika di Indonesia khususnya pada tahun 1976-2011 dengan bermacam-macam
jenis yang dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan bagi si pemakai yang
penggunaannya diluar pengawasan dokter, juga kemungkinan bahaya besar bagi
kehidupan bernegara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta
keamanan maupun ketahanan nasional bangsa Indonesia disalah satu sisi dan
disisi lain untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan
dan ilmu pengetahuan.
2.
Sebagai penyempurnaan dari peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum UU No. 35 Tahun 2009
terbit.
Munculnya
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan dampak yang berarti
dalam penegakkan hukum di bidang Narkotika di Indonesia. Sudah banyak pelaku
yang tertangkap dan diberi sanksi sesuai dengan UU narkotika, meski belum dapat
menghilangkan narkotika di Indonesia namun minimal sudah mengurangi. Dari aspek
penegak hukum terdapat oknum aparat penegak hukum yang justru menjadi pelaku
dan tidak transparannya pemusnahan barang bukti menjadi faktor yang menghambat
upaya pemberantasan narkotika.
Selain itu, UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika juga sudah memberi sanksi secara tegas dan banyak menjerat
pelaku-pelaku narkotika (orang asing/dalam negeri) yang mengedarkan narkotika
di Indonesia dan sudah dihukum sesuai dengan ketentuan UU narkotika yang ada di
Indonesia. Dan tujuan utama dibuatnya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu
untuk mempersempit langkah gembong narkotika supaya tidak bisa mengedarkan
narkotika di Indonesia.
Disusun oleh: Subchi
Eko Putro, Andita Hadi Permana, Indi Kuswiyono, Kodrat Tri Anggoro. Mahasiswa Pasca Sarjana UNS.
[1] Handoyo Setiyono, Sejarah Hukum UU
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Diambil dari internet cahwaras.wordpress.com/.../sejarah-hukum-uu-no-22-tahun-1997…, April 25, 2010.
[2] Lih. Penjelasan dalam amar
pembukaan; menimbang, mengingat, memutuskan, UU No. 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (di dalam amar pembukaan menimbang point c, dan d).
[4] Lih. Penjelasan dalam amar
pembukaan; menimbang, mengingat, memutuskan, UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (di dalam amar pembukaan menimbang point e).
[12] Lidya Christin Sinaga,
2008, Indonesia di Tengah Bisnis Narkoba Ilegal Global, (Online), (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/32-lidya-christin-sinaga, diakses 5 Oktober 2009).
[13] Penjelasan UU No. 9 Tahun 1976
tentang Narkotika.
[15] Penjelasan UU No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika
[16] UU No. No 22 Tahun 1997
tentang Narkotika
[17] Penjelasan UU No. 1997 tentang
Narkotika.
[18] Lih. Penjelasan di dalam UU No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
[19] Lampiran I UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Moh. Zakky A.S, 2003, Tindak
Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, 1985, Menanggulangi
Bahaya Narkotika, Cetakan Pertama, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, 1976, Segi Hukum tentang Narkotika
di Indonesia, PT. Karya Nusantara, Bandung.
INTERNET
Handoyo
Setiyono, Sejarah Hukum UU No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika. Diambil dari internet cahwaras.wordpress.com/.../sejarah-hukum-uu-no-22-tahun-1997…,
April 25, 2010.
Lidya Christin Sinaga, 2008, Indonesia di Tengah
Bisnis Narkoba Ilegal Global, (Online), (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/32-lidya-christin-sinaga, diakses
5 Oktober 2009).
Patri Handoyo, 2009, Mengapa Bangsa Indonesia perlu Memiliki UU Narkotika dan Psikotropika, (Online),(http://www.acehforum.or.id/mengapa-bangsa-indonesia-t26783.html?s= 9e3dfdf606a5b55f7e0ea17e9a94c973&,
diakses 5 Oktober 2009).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
ijin untuk referensi makalah Pak, thanks
BalasHapusJumia Casino: The Fastest Payout Casino in India
BalasHapusHow to 울산광역 출장샵 Get Your Bet. Jumia Casino is one of the fastest growing betting sites in India. The 김포 출장샵 mobile casino offers a 서귀포 출장안마 vast 익산 출장마사지 selection of live casino 대구광역 출장안마 games,