A.
Latar
Belakang Masalah
Jasa perparkiran
merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pelaku usaha yang bermotivasi tidak
ingin menanggung kerugian berlebih dari risiko yang seharusnya ditanggung. Hal
tersebut tampak di dalam beberapa klausula baku seperti “barang hilang tanggung
jawab pemilik kendaraan”. Sampai sekarang masih banyak pelaku usaha jasa parkir
yang dengan seenaknya lepas tangan atas kerugian konsumen yang sebenarnya
menjadi tanggung jawabnya. Pelaku usaha mendasarkan argumentasinya pada
keberadaan klausula baku, tetapi hal ini untuk mengelakkan diri dari tanggung
jawab ganti rugi yang diderita oleh konsumen.[1]
Keberadaan klausula
baku harus diuji apakah sudah memperhitungkan dan mengakomodasi kepentingan
konsumen, jika tidak sesuai kepentingan konsumen klausula baku akan dapat
menjadi alat jebakan yang merugikan konsumen sekaligus menjadi alasan pembenar
bagi pelaku usaha untuk “cuci tangan” atas resiko usahanya. Klausula baku yang
dicantumkan dalam karcis atau di areal parkir seharusnya tidak berlaku mutlak,
harus diuji apakah merugikan konsumen atau mengelak dari ganti rugi yang
menjadi tanggung jawab produsen atau pelaku usaha. Apabila standar baku akan
merugikan konsumen maka klasula baku harus batal demi hukum.[2]
Dan bila kita melihat
kilas balik sejarah terbentuknya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk mewujudkan misi perlindungan dan
pengamanan atas kesejahteraan masyarakat dalam segala sektor kegiatan ekonomi.
“Dengan tujuan
melindungi konsumen berarti sama dengan melindungi bangsa” yang kemudian menjadi
motivasi dasar bagi pemberlakuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, bahwa setiap
individu maupun komunal merupakan konsumen yang selalu menikmati barang/jasa.
Motivasi ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa filosofi pembangunan nasional
termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk
membentuk manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan Pancasila (Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). Adapun sejarah pengaturan perlindungan
konsumen di Indonesia sudah tampak dalam beberapa bidang secara sektoral
sebelum tahun 1999, seperti terlihat dari beberapa ketentuan hukum
Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Barang, kemudian menjadi
Undang-Undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; Undang-Undang No. 2 Tahun 1981;
Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, dan lain-lain.
Selanjutnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sendiri yang berkedudukan sebagai
ketentuan hukum dasar dan umum yang harus dirujuk oleh setiap undang-undang
lainnya dalam usaha perlindungan konsumen (umbrella
act).[3]
Sedangkan yang menjadi
latar belakang pembentukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen sebenarnya lebih dipengaruhi oleh tuntutan globalisasi perdagangan
dunia yang diprakarsai oleh World Trade
Organization (WTO) dengan perjanjian GATT-nya. Globalisasi jelas membuka
lebar arus transaksi perdagangan internasional ke Indonesia yang berdampak pada
semakin banyaknya barang/jasa yang ditawarkan. Pemikiran akan pentingnya
pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang khusus semakin dirasa
penting mengingat faktor kelemahan konsumen yang masih rendah. Tingkat
kesadaran konsumen akan haknya (penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999)
jelas membawa risiko yang sangat besar bagi terjaminnya kesehatan dan keamanan
barang / jasa yang dinikmati konsumen. Tidak terkecuali jasa perparkiran yang
semula tidak pernah digarap dengan baik saat ini menjadi bidang bisnis yang
sudah berkembang dan sangat menjanjikan. Perlindungan hukum atas kepentingan
konsumen pun seharusnya menjadi perhatian utama bagi pelaku usaha jasa perparkiran.
Mulai dari jaminan sistem perparkirannya, keamanan kendaraan hingga penggunaan
jasa selesai. Pada prinsipnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tidak hanya
menekankan pengawasan pada tindakan konsumen namun juga pemberdayaan konsumen
untuk lebih sadar dan memperjuangkan apa yang menjadi hak-haknya.[4]
Kasus Anny vs PT. SPI merupakan salah satu dari
sekian banyak kasus pelanggaran konsumen yang terjadi di masyarakat.
Perbedaannya Anny merupakan contoh konsumen yang sadar dan berani berjuang
untuk mempertahankan hak yang semestinya dinikmatinya sebagai hak konsumen atas
keamanan jasa perparkiran. Klausula baku yang dicantumkan dalam karcis atau di
areal parkir seharusnya tidak berlaku mutlak, justru keberadaannya harus diuji
apakah sudah memperhitungkan dan mengakomodasi kepentingan konsumen. Jika tidak
berarti klausula baku menjadi alat jebakan bagi konsumen yang dirugikan sekaligus
alat pembenar bagi pelaku usaha untuk “cuci tangan” atas risiko usahanya. Hal
semacam ini harusnya bisa dihindari jika pelaku usaha memahami asas
perlindungan konsumen yang menekankan asas keamanan dan keselamatan konsumen
sebagaimana telah diatur secara tegas dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999.[5] Dan
juga asas kesimbangan yang terdapat di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999, yang menegaskan adanya kondisi seimbang dalam pemenuhan kepentingan, baik
bagi konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, dalam arti materiil ataupun
spiritual (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). Ini berarti
ketiga pihak tersebut harus dilindungi secara seimbang, tidak boleh hanya
menitikberatkan satu pihak saja tetapi ketiganya sekaligus. Tidak mudah memang
memahami prinsip keseimbangan tersebut mengingat judul Undang-Undang a quo ternyata menegaskan satu pihak
yang dilindungi, yaitu konsumen.[6]
Oleh karena itu,
hubungan bisnis yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen pada dasarnya didasarkan
pada perjanjian di antara kedua belah pihak. Sebagai sebuah perjanjian,
masing-masing pihak memilki prestasi sekaligus kontraprestasi yang harus
dilakukan. Pelaku usaha wajib menyerahkan barang / jasa sesuai perjanjiannya,
sedangkan konsumen pada tahap ini berhak mendapatkan jaminan yang baik atas
barang / jasa. Pada tahap kedua, setelah konsumen menerima barang / jasa dengan
baik, ia wajib menyerahkan pembayaran sebagai imbalan barang / jasa, sedangkan
pelaku usaha berhak mendapatkan imbalan dari konsumen sesuai harga yang
disepakati. Mengingat perjanjian merupakan bentuk perikatan sebagaimana diatur
dalam Buku III BW, sifat terbuka dari perjanjian jelas berlaku bagi semua
bentuk perjanjian. Kegiatan bisnis yang selalu berkembang dalam segala bentuk dan
variasinya menuntut hukum lebih bersifat terbuka atau fleksibel agar dapat
menampung kebutuhan masyarakat. Pasal 1338 BW merupakan dasar bagi para pelaku
usaha untuk berkreasi dalam membuat perjanjian demi melindungi kegiatan
bisnisnya. Asas Kebebasan Berkontrak terdapat secara implisit dalam pasal 1338
BW. Latar belakang munculnya asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh doktrin individualistik dan liberal sebagai reaksi
dari kesewenang-wenangan Raja pada hal-hal yang sifatnya privasi yang pada
akhirnya menciptakan sebuah konsep kebebasan individu (kebebasan bagi setiap
orang untuk mengejar kesejahteraannya sendiri dan mengatur perhubungan sosial
menurut kehendaknya sendiri.[7] Sedangkan
individu menuntut pengakuan dan perlindungan hak pribadi untuk berbuat sesuatu
dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhannya. Pemberlakuan asas kebebasan
berkontrak tersebut jelas membuka ruang bebas bagi terciptanya berbagai macam
perjanjian yang diberlakukan di dunia bisnis, salah satunya perjanjian baku
atau klausula baku. Munculnya perjanjian baku menurut Sidabalok lebih karena
“semata-mata menghemat waktu dan uang (alasan ekonomis) menghindari negosiasi
yang berlarut-larut.”[8]
Pendapat berbeda disampaikan Sutan Remi Sjahdeini yang memandang perjanjian
baku / standar kontrak adalah “suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan
masyarakat.”[9]
Kedua pendapat memang ada benarnya jika klausula baku kemunculannya dari sisi
praktis untuk memperlancar kegiatan bisnis yang membutuhkan efektivitas waktu.
Perlu dipahami adanya
perbedaan mendasar apa yang disebut klausula baku dan perjanjian baku. Klausul
lebih menunjuk pada satu term atau
satu / beberapa point kesepakatan
yang terdapat di dalam perjanjian yang sudah tercantum dalam perjanjian.
Sementara itu, perjanjian baku merupakan bentuk perjanjian yang baik isi maupun
bentuknya sudah dibakukan untuk berlaku pada satu bidang bisnis. J. Satrio
menggunakan istilah “perjanjian sepihak” dengan mendefinisikannya sebagai “perjanjian
yang menimbulkan kewajiban pada satu
pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedangkan para pihak yang lain hanya ada
hak saja”[10].
Perjanjian sepihak lebih menekankan pihak yang berinisiatif membuat perjanjian
hanya satu pihak saja yang akhirnya berdampak pada pemberian kewajiban pada
pihak lainnya. Mengenai istilah “baku” dalam perjanjian baku, Gunawan Widjaja
dan Ahmad Yani memberikan penjelasan bahwa “dikatakan ‘baku’ karena baik
perjanjian maupun klausula tersebut,
tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak
lainnya.”[11]
Dapat dikatakan bahwa perjanjian baku berisikan beberapa klausula yang memang sudah
tersusun dengan baik dan sistematis dan bersifat tertutup untuk diubah. Pada
posisi tersebut pelaku usaha (pembuat klausula baku) lebih dipandang sebagai
pihak yang sudah siap dengan penawaran jasanya, menetapkan sistem yang akan
digunakannya dan menutup kemungkinan proses tawar menawar dengan konsumen.[12]
Selain definisi
klausula baku dan perjanjian baku di atas, ada pula dasar hukum mengenai
ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat di dalam Pasal 18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1) Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
4) Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang undang
ini.[13]
Dan Peraturan Daerah
Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir di
dalam Pasal 14 yang berbunyi, dalam melakukan usaha Pengelola Parkir mempunyai
kewajiban sebagai berikut :
a. Mematuhi
dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Menjaga
keamanan, ketertiban, keindahan, dan kelancaran lalu lintas di kawasan lokasi
parkir yang diusahakannya;
c. Menempatkan
papan nama parkir tempat usahanya menurut ketentuan yang ditetapkan oleh
Walikota;
d. Menyerahkan
hasil pungutan retribusi kepada Walikota melalui Dinas sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah potensi pendapatan parkir sesuai kontrak yang disepakati;
e. Memungut
tarif retribusi sesuai ketentuan peraturan yang berlaku;
f. Memberikan
seragam dan kelengkapannya kepada petugas parkir;
g. Mematuhi
dan melaksanakan hubungan perburuhan / ketenagakerjaan sesuai dengan Peraturan
perundangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan;
h. Memberikan
jaminan sosial dan hak-hak lainnya kepada petugas parkir sebesar 15% (lima
belas persen) dari potensi pendapatan parkir;
i.
Bertanggungjawab atas kerusakan dan atau
kehilangan kendaraan termasuk kelengkapannya karena kesengajaan atau kealpaan
sesuai kesepakatan yang berlaku.[14]
Yang
pada intinya klasula baku tersebut sangat bertentangan dengan isi yang
terkandung di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan di dalam Pasal
14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004.
Berdasarkan
latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis perlu melakukan suatu
penelitian hukum yang berjudul: “Penerapan
Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat
Khusus Parkir Terhadap Praktik Klausula Baku Pengelola Jasa Perparkiran di Wilayah
Surakarta” (Studi Kasus atas Perlindungan Hukum Konsumen Parkir di Wilayah
Surakarta).
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan tersebut. Maka penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah
penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir sudah sesuai dengan praktik klausula baku Pengelola
Jasa Perparkiran di wilayah Surakarta ?
2. Bagaimana
bentuk perlindungan hukum apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang
diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area perparkiran
wilayah Surakarta ?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Tujuan
Obyektif
a.
Mengkaji penerapan Peraturan Daerah Kota
Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir terhadap
praktik klausula baku pengelola jasa perparkiran di wilayah Surakarta.
b.
Mengetahui upaya perlindungan hukum apa
saja apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen
parkir atas diberlakukan klausula baku di area jasa perparkiran wilayah Surakarta.
2. Tujuan
Subyektif
Untuk memenuhi tugas proposal hukum
mata kuliah metode penelitian hukum sebagai persyaratan akademik dibidang ilmu
hukum, dengan minat utama hukum bisnis di Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
D.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat
Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi
ilmu pengetahuan hukum bisnis, khususnya dibidang perlindungan hukum konsumen
jasa perparkiran.
2. Manfaat
Praktis
Memberikan saran atau masukan bagi
pengelola jasa perparkiran sebagai pelaku usaha guna memperluas pemahaman
tentang hak dan kewajibannya yang diatur di dalam Peraturan Daerah Kota
Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, serta untuk
menghindari pencantuman atas klausula baku yang merugikan konsumen parkir dalam
perjanjian sewa tempat yang dibuat oleh pengelola jasa perparkiran di wilayah
Surakarta.
E.
Landasan
Teori
Landasan
teori yang dipakai yaitu menurut pendapat teori hukum abad ke-19 yang ditandai
oleh beberapa kecenderungan utama untuk revolusi industri, dengan tiga tokoh
diantaranya :
1) Teori
Karl Mark (Hukum itu Kepentingan Orang Berpunya)
Karl
Marx dapat dikatakan orang pertama, dan dengan amat jelas serta terperinci
menjelaskan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia.
Ia mengatakan, siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia.
Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan
corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, hukum, ajaran
agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya
tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada dibaliknya[15].
Tidak ada satupun peristiwa sejarah di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan
dengan kategori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan,
bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Hukum
pun tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari
kelas ekonomi tertentu. Misalkan, mengapa peraturan di bidang perburuhan
cenderung menggelisahkan buruh? Menurut Marx, karena hukum telah dikuasai oleh
kelas pemilik modal. Sedangkan isu utama dalam hukum menurut Marx, bukanlah
keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan hanyalah omong kosong
belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan ‘orang berpunya’. Ia tidak lebih
dari sarana penguasaan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan
mereka[16].
2) Teori
Henry S. Maine (Hukum itu Produk Adaptasi Sosial)
Maine
dikenal dengan teorinya Movement from
Status to Contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan
yang dilakukannya pada masyarakat Asia (khususnya cina dan India) dan
masyarakat Eropa[17].
Dari studi tersebut, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: (i). Static Societies (Cina dan India), dan
(ii). Progressive Societies (Eropa).
Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan-hubungan antar-status.
Sebaliknya pada masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media
kontrak antar-prestasi.[18]
Sebagai
penganut teori evolusi, Maine melihat proses-proses perubahan dalam kehidupan
masyarakat sebagai sesuatu yang alami. Jalurnya jelas, melalui peningkatan kemampuan
adaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan motor penggerak adaptasi itu adalah
ekonomi. Arahnya pun pasti selalu menuju ke situasi-situasi yang serba adaptif
dan terdeferensiasi pada tingkat struktural. Dan manusia tidak lagi dilihat
dari segi ‘bawaan’-nya, tapi pada prestasi yang dibuat. Prestasi harus dibalas
konta prestasi. Di sinilah terjadi kontrak antar prestasi dari para
individu-individu yang menjinjing prestasinya masing-masing. Seiring dengan
progresi seperti itu, hukum pun berubah dari fungsinya yang mengukuhkan
hubungan-hubungan lama yang bersifat antar status ke hubungan-hubungan baru
yang bersifat kontraktual[19].
3) Teori
Emile Durkheim (Hukum itu Moral Sosial)
Teori
Durkheim ini, mungkin agak mengagetkan karena ia menempatkan hukum sebagai
moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang selalu
berurusan dengan persoalan moral. Ia adalah sosiolog-positivistik yang berjejer
di belakang Mark dan Maine yang selalu bergumul dengan fakta-fakta empiris.[20]
Menurut
Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas
sosial itu sendiri merupakan unit yang abstrak. Ia merupakan ‘roh’ yang
mengikat orang-orang pada ‘kerangka keyakinan’ bersama dalam membangun hidup
yang terintegrasi[21].
Inilah dimensi moral yang dimaksud Durkheim. Tapi berhenti di sini, berarti
berhentilah kerja sosiolog. Meskipun sosiolog merupakan kerangka keyakinan,
tetaplah sebuah unit yang abstrak. Kerangka keyakinan tidak merubah solidaritas
sosial menjadi susuatu yang empiris. Durkheim lalu mencari unit empiris dalam
mosaik solidaritas sosial yang abstrak itu. Di situlah ia menemukan hukum
sebagai unit yang empiris dari solidaritas sosial.[22]
F.
Penelitian
yang Relevan
Tinjauan
penelitian yang relevan mengenai penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No.
7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir dengan praktik
klausula baku jasa perparkiran, serta bentuk perlindungan hukum apabila terjadi
kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan
klausula baku di area perparkiran wilayah Surakarta. Sampai saat ini penulis
belum menemukan penelitian sejenis di wilayah Surakarta mengenai permasalahan
di atas.
G.
Kerangka
Pemikiran
Dalam
pencantuman klausula baku jasa perparkiran, pengusaha lebih mencari posisi aman
dalam membuat suatu perjanjian klausula baku jasa perparkiran dengan konsumen
parkir. Dimana perjanjian klausula baku yang membuat hanyalah salah satu pihak
saja yaitu pengelola jasa parkir tanpa melibatkan pihak konsumen parkir untuk
dimintai pendapat dan masukan mengenai isi pembuatan perjanjian klausula baku
yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.
Oleh
karena itu, asas kebebasan berkontrak yang terdapat di Pasal 1338 KUHPer tidak
menitikberatkan pada keseimbangan kepentingan di dalam perjanjian, karena dalam
hal ini pengelola jasa parkir lebih ditempatkan pada posisi yang kuat dalam
menentukan isi perjanjian klausula baku dengan segi untuk mencari keuntungan
finasial atas pengelolaan jasa perparkiran, tanpa memperhitungkan kerugian
dipihak lain selaku konsumen dengan diterapkannya klausula baku tersebut.
Adapun isi klausula baku sederhana yang biasa kita jumpai sehari-hari, di Mall,
atau tempat parkir pada umumnya berbunyi ; “Barang Hilang Bukan Tanggung Jawab
Pengelola Jasa Parkir”. Klausula baku tersebut sangatlah bertentangan sekali
dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dan Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir.
Dan
secara umum perjanjanjian klausula baku yang dibuat oleh pengelola jasa perparkiran
akan menyebabkan dampak secara langsung yang merugikan konsumen apabila terjadi
kerusakan dan atau kehilangan barang di tempat parkir, semisal; kehilangan motor,
mobil, dan lain-lain, sehingga pengelola jasa parkir tidak mau mengganti
kerugian atas hilangnya barang tersebut. Yang pada intinya di dalam Pasal 18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 14
point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 mengenai aturan
yang seharusnya (Das Sollen), apakah sudah sesuai dengan senyatanya (Das Sein) dalam
praktek yang ada dilapangan terhadap perjanjian klausula baku yang dibuat oleh
pengelola jasa parkir di wilayah Surakarta.
H.
Metode
Penelitian
a.
Jenis
Penelitian
Berawal
dari latar belakang dan pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di depan,
penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-doktrinal / sosio legal research, yaitu realita
bekerjanya hukum yang ada dilapangan.
Menurut
Soetandyo Wignyo Soebroto dikatakan bahwa ; Socio
Legal research merupakan suatu penelitian yang meneliti persoalan-persoalan
yang menyangkut hal fungsi hukum sebagai suatu institusi di dalam masyarakat,
berikut faktor-faktor sosial, cultural
psikologis yang mempengaruhinya. Socio
Legal research atau penelitian mengenai permasalahan bekerjanya hukum dalam
masyarakat, berkembang baik di negara-negara nasional yang tengah dihadapkan
kepada persoalan tak lagi efektifnya hukum untuk menata tertib sosial dan/atau
untuk mengelola serta mengendalikan perkembangan masyarakat. Tidak lagi
efektifnya hukum untuk melaksanakan fungsinya di dalam masyarakat telah
mendorong pemuncak dalam tata politik negara yang mempertanyakan, mencari,
meneliti sebab-sebab yang non yuridis (socio
cultural dan/atau sosio psikologis).[23]
Sehingga
menurut bidangnya jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat
empirik/sosiologis. Sedangkan menurut konsep hukum yang digunakan dalam
penelitian ini, hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku
sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka.[24]
b.
Sifat
Penelitian
Menurut
sifat penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, dengan maksud untuk
memberikan data-data yang akurat dan seteliti mungkin tentang manusia, keadaan
atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun
teori-teori.
Dan
menurut bentuk penelitian termasuk kedalam penelitian diagnostik dan evaluatif.
Diagnostik merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan
keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala.
Sedangkan penelitian evaluatif dilakukan apabila seseorang ingin menilai
program-program yang dijalankan.[25]
c.
Pendekatan
Penelitian
Pendekatan
penelitian non-doktrinal dengan memakai salah satu dari empat macam paradigma,
yaitu positivisme, atau postpositivisme, atau critical theory atau
konstruktivisme. Pendekalatan yang digunakan salah satu yaitu pendekatan
penelitian dengan paradigma postpositivisme yang digunakan dalam wawancara dan
observasi.[26]
d.
Jenis
dan Sumber Data
Dalam
penelitian sosial mengenai hukum (social
legal research) digunakan data primer dan data sekunder[27]:
a. Sumber
Data Primer
Sumber data primer adalah data-data
yang berupa observasi (pengamatan), observasi terlibat (berperan serta),
wawancara, dan Indepth interviewer
(wawancara mendalam) terhadap keterangan-keterangan yang diperoleh secara
langsung dari lapangan.[28]
Observasi dan wawancara dilakukan penulis terhadap pengelola jasa perparkiran,
petugas parkir, konsumen parkir, dan para pembuat kebijakan di DPRD tentang
Perda parkir di wilayah Surakarta.
b. Sumber
Data Sekunder
Sumber data sekunder terdiri atas[29]:
1)
Bahan hukum primer meliputi ; Kitab-Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD), Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan daerah Kota Surakarta
No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, dan peraturan
yang diperlukan untuk menunjang penelitian.
2)
Bahan hukum sekunder, berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum bisnis,
buku teks, komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan masalah hukum
bisnis.
3)
Bahan hukum tersier, berupa kamus,
ensiklopedia, dan indeks kumulatif.
e.
Teknik
Pengumpulan data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan tergantung jenis penelitian Socio-legal : dalam paradigma postpositivisme digunakan wawancara
dan observasi.[30]
Terhadap pengelola Jasa Perparkiran, Petugas Parkir, Konsumen Parkir, dan Para
Pembuat Kebijakan di DPRD tentang Perda Parkir di wilayah Surakarta.
f.
Teknik
Analisis data
Teknik
yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan teknik
analisis kualitatif. Analisis kualitatif, rumusan mengenai metode penelitian
berfungsi sebagai penuntun pelaksanaan yang bersifat sementara. Di dalam proses
penelitian perumusan tersebut dapat dilakukan perubahan atau penyempurnaan.
Secara umum metode penelitian kualitatif memuat komponen-komponen sebagai
berikut[31]:
a. Tempat
atau lokasi penelitian di wilayah Surakarta.
b. Sumber
data diperoleh dari Pengelola Jasa Perparkiran, Petugas Parkir, Konsumen
Parkir, dan Para Pembuat Kebijakan di DPRD tentang Perda Parkir di wilayah
Surakarta.
c. Teknik
pemerolehan data dengan observasi (pengamatan), dan wawancara.
Setelah
data terkumpul dari wawancara dan observasi, kemudian dilakukan dengan data reduction[32] yaitu
bagian dari teknik analisis, suatu bentuk analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur
sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.[33]
I.
Jadwal
Penelitian
Penelitian ini
direncanakan dalam 3 (tiga) tahap yang memerlukan waktu sekitar 8 (delapan)
bulan, yaitu :
1. November
2011- Januari 2012 tahap persiapan penelitian selama 3 (tiga) bulan, meliputi
kegiatan pra studi, identifikasi masalah, penentuan judul penelitian, penulisan
proposal, seminar proposal dan perbaikan proposal.
2. Pebruari
– Maret 2012 tahap pelaksanaan penelitian selama 2 (dua) bulan, meliputi
kegiatan identifikasi sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
pengumpulan data sekunder, pengolahan data dan analisa data.
3. April
– Juni 2012 tahap pennyelesaian penelitian selama 3 (tiga) bulan, meliputi
kegiatan penulisan laporan hasil penelitian, dan ujian tesis serta perbaikan.
Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)
[1] Hwian
Christanto, Perlindungan Konsumen Atas
Keamanan Pengguna Jasa Perparkiran Terkait Klausula Baku: Studi Kasus Ganti
Rugi Atas Hilangnya Kendaraan di Area Perparkiran. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”,
Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB)
Business Law Development Foundation, hlm.58.
[2] Ibid., hal. 58.
[3] Herlian Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia. Di
dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan
Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.60.
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] www.media Indonesia.com, 1
Agustus 2010: Hilangnya di Tempat Parkir
Kendaraan Diganti, di akses tanggal 15 Januari 2011. Di dalam Jurnal Hukum
Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan
Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis
(YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.58-59.
[7] Herlian Budiono, Op Cit. hlm.
106.
[8] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan
Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation,
hlm.61-62.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank. Di dalam Jurnal
Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen :
Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan
Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[10] J. Satrio, Hukum Perjanjian: Perjanjian pada Umumnya. Di dalam Jurnal Hukum
Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan
Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis
(YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[11] Gunawan Widjaja & Ahmad
Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen.
Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan
Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[12] Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”,
Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB)
Business Law Development Foundation, hlm.62.
[13] Lihat Pasal 18 UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
[14] Lihat Peraturan Daerah Kota
Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, Pasal
14.
[15] Lih William M. Evan, Social Structure and Law: Theoretical and
Empirical Perspektives. Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum
(Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan
ke-III April 2010, Semarang, hlm.97.
[16] Ibid.,
[17] Lih S. Prakash Sinha, Jurisprudence…, Di dalam buku Bernard L.
Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi),
Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 111.
[18] Ibid.,
[19] Lih Wolfang Friedman, Legal
Theory…, Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April
2010, Semarang, hlm. 113-114.
[20] Ulasan tentang Durkheim dalam
karya ini, sebagian besar diambil dari Vilhelm Aubert (ed), Sociology of Law…, William M. Evan, Socio Structure and law… Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori
Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing,
Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 115
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] Soetandyo Wignyosoebroto, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi dalam
Masyarakat Indonesia. Di dalam tesis Supriyanto, Aspek Perlindungan Hukum pada Konsumen Kendaraan Bermotor terhadap
Perjanjian Pembiayaan Konsumen..., UNS Surakarta, 2004. hlm. 70.
[24] Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta (UNS), 2010. hlm.20.
[25] Ibid., hlm.5-6.
[26] Setiono, Pedoman Pembimbingan Tesis dan Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan
Tesis, Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta. hlm. 26-27.
[27] Ibid., hlm. 26.
[28] Ibid., hlm. 26.
[29]Ibid., hlm. 27.
[30] Ibid., hlm. 26-27.
[31] Ibid., hal. 27.
[32] Setiono., Op Cit. hlm.30.
[33] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar