AL HIDAYAH FM

Rabu, 18 Januari 2012

SEJARAH HUKUM UNDANG-UNDANG NARKOTIKA DI INDONESIA YANG DI MULAI DARI TAHUN 1976 SAMPAI DENGAN TAHUN 2011


1.      PENDAHULUAN
Narkotika sebagai salah satu kejahatan yang grafiknya terus meningkat dari waktu kewaktu. Hampir semua elemen yang terdapat didalam masyarakat dengan tanpa membedakan status sosial dapat dimasuki oleh narkotika dan psikotropika, seperti anak-anak, pelajar, mahasiswa, selebritis, lembaga profesional dan tidak sedikit para oknum pejabat.
Narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang disepakati (concensual crimes). Semua pihak terlibat dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika. Para pihak menjadi pelaku dan sekaligus korban. Sebagai tindak pidana yang disepakati, antara pelaku dan korban telah bersama-sama sepakat dalam tindak pidana ini sehingga untuk menentukan sebagai korban akan semakin rancu dan tidak jelas.
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang semula dijadikan tempat transit narkotika dan psikotropika telah berkembang menjadi tempat untuk memproduksi narkotika. Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial narkotika.
Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda telah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan.[1]
Kemudian di tahun 1976, dibuatlah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang melarang tentang pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan karena sangat bertentangan dengan UU Narkotika. Sebab kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan, masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi sendi kehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Selain narkotika bisa untuk disalahgunakan untuk kejahatan, penggunaan narkotika bisa juga digunakan untuk keperluan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang pengaturannya terdapat di dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman pada era setelah tahun 1976.[2]
Selanjutnya ditahun 1997, dibuatlah UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman setelah tahun 1997. Yang UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika juga bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus kepada terjadinya penyalahgunaan.
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan dengan adanya UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir (organizeci crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime).
Harus disadari bahwa masalah penyalahgunaan narkotika adalah suatu problema yang sangat komplek. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika, dan semuanya sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik pemerintah, aparat keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di sekolah. Sebab penyalahgunaan narkotika tidak dapat hilang dengan sendirinya meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang mengatur sanksi secara tegas dan juga harus didukung oleh berbagai pihak untuk  mendukung pelaksaan UU narkotika tersebut.[3]
Kemudian seiring perkembangan jaman ditahun 2009, maka dibuatlah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan alasan bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.[4]

2.      PERUMUSAN MASALAH
         Apa latar belakang sejarah hukum mengenai terbentuknya UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, UU   No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

3.      PEMBAHASAN
Narkotika telah dikenal oleh manusia didunia sejak zaman prasejarah tepatnya di negara Mesopotamia (sekitar Irak sekarang). Pada zaman sekarang, narkotika bernama Gil artinya bahan yang menggembirakan. Gil digunakan sebagai obat sakit perut. Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.[5]
Di Tiongkok Gil dikenal dengan nama Candu yang dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Dan Candu sendiri pernah juga menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dengan dipergunakan sebagai alat subversif oleh pemerintah Inggris untuk menimbulkan perang yang dikenal dengan perang Candu (The Opium War) pada tahun 1839-1842.[6]
Adapula bahan lain yang menyerupai Candu yang berkembang di dunia Arab bernama Jadam. Jadam bukan tergolong obat bius seperti candu yang termasuk dalam V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie), tetapi merupakan obat keras yang termasuk dalam SWGO (Strek Werkende Geneesmiddelen Ordonantie) di tahun 1949.[7]
Gil, (Candu maupun Jadam) berkembang dalam penggunaannya oleh masyarakat dunia sampai sekarang. Berbagai macam bentuk Narkotika telah bermunculan baik yang tergolong alami maupun sintetis (buatan). Perkembangan peredaran narkotika yang begitu cepat sehingga menimbulkan kasus-kasus kejahatan narkotika yang baru di masyarakat dunia.
Peredaran dan penggunaan narkoba di Indonesia dimulai sejak penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, narkoba banyak digunakan oleh  masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan Cina) sejak tahun 1617. Sehingga sedemikian membahayakan penggunaan narkoba tersebut, kemudian pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927, mengeluarkan VMO Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.[8]
Dan Pemerintah Hindia Belanda pun memberikan izin kepada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal yang dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisap melalui pipa panjang.
Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Kemudian PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui dominasi negara-negara sekutu yang ada didalamnya, membuat suatu kesepakatan Internasional untuk mengawasi dan menegendalikan perdagangan opium. Pengembangan kesepakatan tersebut menjadikan Amerika dan negara-negara Eropa merupakan pasar potensial bagi obat-obatan berbahan dasar tumbuhan.
Pada tahun 1961 dibuat Kesepakatan Tunggal Obat-obatan Narkotika dengan memasukan Candu, Ganja dan Koka, meskipun secara ilmu farmasi Ganja dan Koka bukan merupakan narkotika. Pada tahun 1971 PBB membuat kesepakatan Internasional untuk obat-obatan Psikotropika, bahan-bahan yang bukan berasal dari tumbuhan namun berpotensi menjadi obat yang dikonsumsi secara meluas di Amerika dan Eropa.
Dan Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan narkotika sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala tersebut berpengaruh di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia pada awal tahun 1970 sudah meluas di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar sudah semakin banyak. Masyarakat dan Pemerintah serta DPR memandang perlu segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau setiap bentuk penyalahgunaan narkotika.
Lebih lanjut Soedjono Dirdjosisworo berpendapat bahwa, “beberapa hal yang menonjol mengenai pernyataan ini antara lain adalah sebagai berikut. Kecendrungan kecanduan dan ketagihan narkotika yang membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Dari segi ketentuan-ketentuan pidana dan acara peradilan pidana telah pula mencerminkan kenyataan bahwa V.M.O tidak memenuhi sebagai syarat sebagai Undang-undang Narkotika, disamping tidak cocok lagi dengan kenyataan administrasi peradilan pidana pada tahun 1970.[9]
Selain penyalahgunaan narkotika terdapat jenis kejahatan yang muncul pada tahun 1970 dan menggangu stabilitas politik serta keamanan dalam rangka menjamin suksesnya pembangunan nasional. Pada tanggal 8 September 1971, Presiden mengeluarkan Intruksi No. 6 tahun 1971 kepada Kepala Bakin untuk memberantas masalah-masalah yang mengahambat pelaksanaan pembangunan nasional.
Terdapat 6 (enam) permasalahan pokok yang harus diberantas berdasarkan Inpres No. 6 tahun 1971, yaitu:[10]
1.      Kenakalan remaja,
2.      Penyalahgunaan narkotika,
3.      Penyelundupan,
4.      Uang palsu,
5.      Subversif, dan
6.      Pengawasan orang asing.
Inpres No. 6 tahun 1971 belum mampu menjangkau masalah penyalahgunaan narkotika. Selanjutnya Ketentuan-ketentuan yang bersumber dari ketentuan lama yang memiliki kelemahan dinilai sebagai penyebabnya. Kelemahan tersebut adalah:
1.      Tidak adanya keseragaman didalam pengertian narkotika,
2.      Sanksi terlalu ringan bila dibanding dengan akibat penyalahgunaan narkotika,
3.      Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban terhadap penjual, pemilik, pemakai, pengedar dan penyimpan narkotika,
4.      Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika,
5.      Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus menangani masalah penyalahgunaan narkotika,
6.      Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor terhadap penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat,
7.      Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan-penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.
Disamping itu, terdapat faktor yang berperan penting dalam mendorong dibentuknya Undang-Undang Narkotika. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Faktor partisipasi sosial.
Adanya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan narkotika setelah badan koordinasi Inpres No. 6 tahun 1971 mulai bekerja. Kesadaran sosial yang timbul didalam masyarakat didukung oleh media komunikasi massa terutama dari kalangan pers. Partisipasi juga timbul dari kalangan ilmuwan termasuk ahli medis dan ahli hukum.
Melalui partisipasi sosial ini terungkap bahwa salah satu kesukaran dalam memberantas para pengedar narkotika adalah kesenjangan undang-undang yang berlaku saat itu. Undang-undang obat bius (V.M.O) sudah tidak cocok dan tidak mampu mengakomodasi pengaturan penggunaan maupun penindakan terhadap penyalahgunaan narkotika.
Berdasarkan hasil seminar kriminologi II Semarang pada tahun 1972, mendesak kepada pembuat undang-undang untuk secepatnya menerbitkan Undang-undang tentang Narkotika.
2.      Pelaksanaan Pelita I (1969-1974).
Pelita I merupakan pencanangan era pembangunan yang merupakan perwujudan tekad Orde Baru untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan bertahap dan terencana. Guna mewujudkan tekad tersebut, pemerintah Orde Baru menekankan pada masalah-masalah sosial yang dapat mengganggu jalannya pembangunan. Sehingga memerlukan pengaturan oleh hukum yang mantap sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3.      Undang-undang sebagai sarana prevensi umum terhadap kriminalitas.
Upaya mengahadapi bahaya narkotika secara yuridis, pemerintah didukung oleh kalangan ahli dan praktisi untuk memahami pentingnya undang-undang narkotika. Persepsi kalangan mengenai relevan dan urgen hadirnya undang-undang narkotika nasional yang baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang narkotika.[11]
Dengan melihat berbagai dampak yang ditimbulkan maka pemerintah Indonesia memandang perlu untuk segera membuat suatu peraturan perundang-undangan  tentang narkotika yang baru. Karena dampak bahaya dari narkotika itu sendiri yaitu dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan bagi si pemakai yang penggunaannya diluar pengawasan dokter, juga kemungkinan bahaya besar bagi kehidupan bernegara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan maupun ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Kemudian di dalam kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda pada tahun 1927 yaitu, Verdoovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo No. 536)  yang sudah tidak sesuai lagi setelah di tahun 1976. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. [12]
Ketentuan yang ada di dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika pada dasarnya berhubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran atau pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Sehingga UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman di waktu itu, karena yang diatur didalamnya hanyalah mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang ada di dalam peraturan yang dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.
Adapun narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia pengobatan, demikian juga dalam bidang penelitian, yaitu untuk tujuan pendidikan, pengembangan ilmu, dan penerapannya. Meskipun ada bahayanya, namun masih dapat dibenarkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan, dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, maka dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika, mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dari Ganja.
Disamping manfaatnya tersebut, narkotika apabila disalahgunakan atau salah pemakaiannya, dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan bagi perorangan serta menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan. Karena itu penggunaan narkotika hanya dibatasi untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan pemakaian narkotika dapat berakibat jauh dan fatal serta menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika untuk kemudian berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku. Dalam hal ini, tidak mustahil kalau penyalahgunaan narkotika adalah merupakan salah satu sarana dalam rangka kegiatan subversi.
Di dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, telah diatur berbagai masalah yang berhubungan dengan narkotika, yang meliputi pengaturan mengenai :
1.      Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika.
2.      Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti; penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas, pengangkutan serta penggunaan narkotika.
3.      Ketentuan tentang wajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan-kegiatan sebagai tersebut dalam angka 2.
4.      Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti bahwa hak azasi tersangka atau terdakwa tidak dijamin atau dilindungi, bahkan diusahakan sedemikian rupa, sehingga penyimpangan dan pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh hak azasi tersangka atau terdakwa, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang ditimbulkan karena penyalahgunaan narkotika. Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahwa dalam pemeriksaan di depan Pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja menyebut nama, alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor (Pasal 28).
5.      Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran (premi).
6.      Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika.
7.      Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam penanggulangan masalah yang ditimbulkan oleh narkotika.[13]
Selain dari bahaya penyalahgunaan narkotika dapat berakibat fatal, penyebaran narkotika di Indonesia juga telah berkembang menjadi pasar (konsumen), wilayah transit, dan bahkan menjadi produsen gelap narkotika. Padahal awalnya, Indonesia hanyalah negara transit yang melayani pasar ilegal di New Zealand dan Australia. UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) bahkan memasukkan Indonesia sebagai negara yang berkembang menjadi sentra pembuatan bahan sistetis ekstasi (emerging for the synthesis of ecstasy). Tingkat penyalahgunaan narkotika di Indonesia memang telah mencapai pada taraf yang serius dan memprihatinkan. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang terbebas dari narkoba.
Bahkan posisi Indonesia juga telah berada pada posisi silang antara Benua Asia dan Australia serta antara Samudera Hindia dan Indonesia, dan juga sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang begitu besar dan garis pantai yang panjang, menjadikannya rentan terhadap perdagangan ilegal narkotika. Kondisi ini ditambah dengan jumlah penduduk yang besar, mencapai kurang lebih 215 juta jiwa dengan 40% diantaranya adalah generasi muda yang merupakan kelompok rentan bagi penyalahgunaan narkotika. Banyaknya pintu masuk (entry point) yang masih kurang terawasi, terutama 22 bandar udara yang memfasilitasi penerbangan dari dan ke luar negeri, seperti Soekarno-Hatta, Polonia, Ngurah Rai, Sam Ratulangi, Sepinggan dan juga 124 titik pelabuhan laut, termasuk pelabuhan laut container serta belum termasuk pelabuhan gelap, menambah suram jalur penyelundupan narkotika di Indonesia.
Oleh karena itu, dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang baru. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum undang-undang narkotika adalah sebagai berikut:
1.      Undang-undang Dasar 1945,
2.      UU No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan,
3.      Intruksi Presiden No. 6 Tahun 1971,
4.      UU No.13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian,
5.      UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesehatan,
6.      UU No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi,
7.      UU No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa,
8.      UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
9.      UU No. 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
10.  UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya,
11.  UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut diatas, maka pemerintah memutuskan:
1.      Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) tahun 1927 No. 278 jo. No. 536 sebagaimana telah diubah dan ditamabah,
2.      Memperbaharui UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 No. 36, Tambahan Lembaran Negara No. 3086),
3.      Menetapkan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1997 No. 67, Tambahan Lembaran Negara No. 3698).[14]
Selain itu, ada alasan kuat yang mendasari penggantian UU No. 9 Tahun 1976 tentang narkotika, menjadi UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika, yaitu di dalam Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus dalam usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan.[15]
Menurut UU No 22 Tahun 1997, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika terdiri dari 3 golongan :
1. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Ganja.
2. Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin.
3. Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Codein.[16]
Selain narkotika dimanfaatkan untuk penelitian, narkotika juga sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika diserta dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Adapun peningkatan, pengendalian dan pengawasan sebagai upaya dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi dan rahasia.
Disamping itu, kejahatan narkotika bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Sedangkan dari perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika yang diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika diwilayah negara republik Indonesia.
Oleh karena itu, Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika kemudian diganti menjadi Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, yang mempunyai cakupan lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain berdasrkan pada faktor-faktor diatas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika sudah sangat modern.
Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional. 
Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional dibidang narkotika dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[17]
Kemudian dalam perkembangannya, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yang mendasarkan pada alasan bahwa narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, dan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika, juga dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, peran BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.
Dan di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.[18] 
Selain peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika yang sudah dijelaskan di atas, perlu juga untuk diketahui beberapa jenis narkotika yang terbagi menjadi beberapa golongan menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diantaranya :
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.
12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida
15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27. BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina DOB
28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6Hdibenzo[ b, d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –
LSD, LSD-25 karboksamida
37. MDMA : (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
40. 4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
42. N-etil MDA : (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[ α -metil-3,4-
(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo
[b,d] piran-1-ol
45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
PHP,PCPY
49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA, nama lain : α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina MDA
51. TENOSIKLIDINA, nama lain : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina TCP
52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
58. LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)- α –metilfenetilamina levamfetamina
59. Levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1- piperazinetano
64. Opium Obat
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-
4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-
karboksilat etil ester
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1- benzimidazolinil)-piperidina
16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]- morfolina
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol
32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona : dihidrimorfinona
37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat Etil ester
43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina
48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61. Morfina
62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil ester
75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4- Karbosilat armida
76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil] propionanilida
82. Tebaina
83. Tebakon : asetildihidrokodeinona
84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat
85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina : 3-etil morfina
5. Kodeina : 3-metil morfina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina : N-demetilkodeina
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]- 6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.[19]

4.      KESIMPULAN
Berdasarkan pokok permasalahan yang dapat penulis simpulkan, mengenai latarbelakang pembentukan UU No. 9 Tahun 1976, UU No. 22 Tahun 1997, dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat disebabkan oleh beberapa hal :
1.      Semakin meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan Narkotika di Indonesia khususnya pada tahun 1976-2011 dengan bermacam-macam jenis yang dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan bagi si pemakai yang penggunaannya diluar pengawasan dokter, juga kemungkinan bahaya besar bagi kehidupan bernegara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan maupun ketahanan nasional bangsa Indonesia disalah satu sisi dan disisi lain untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
2.      Sebagai penyempurnaan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum UU No. 35 Tahun 2009 terbit.
Munculnya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan dampak yang berarti dalam penegakkan hukum di bidang Narkotika di Indonesia. Sudah banyak pelaku yang tertangkap dan diberi sanksi sesuai dengan UU narkotika, meski belum dapat menghilangkan narkotika di Indonesia namun minimal sudah mengurangi. Dari aspek penegak hukum terdapat oknum aparat penegak hukum yang justru menjadi pelaku dan tidak transparannya pemusnahan barang bukti menjadi faktor yang menghambat upaya pemberantasan narkotika.
Selain itu, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga sudah memberi sanksi secara tegas dan banyak menjerat pelaku-pelaku narkotika (orang asing/dalam negeri) yang mengedarkan narkotika di Indonesia dan sudah dihukum sesuai dengan ketentuan UU narkotika yang ada di Indonesia. Dan tujuan utama dibuatnya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu untuk mempersempit langkah gembong narkotika supaya tidak bisa mengedarkan narkotika di Indonesia.
Disusun oleh: Subchi Eko Putro, Andita Hadi Permana, Indi Kuswiyono, Kodrat Tri Anggoro. Mahasiswa Pasca Sarjana UNS.    

[1] Handoyo Setiyono, Sejarah Hukum UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Diambil dari internet cahwaras.wordpress.com/.../sejarah-hukum-uu-no-22-tahun-1997…, April 25, 2010.
[2] Lih. Penjelasan dalam amar pembukaan; menimbang, mengingat, memutuskan, UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (di dalam amar pembukaan menimbang point c, dan d).
[3] Handoyo Setiyono, Op Cit.,
[4] Lih. Penjelasan dalam amar pembukaan; menimbang, mengingat, memutuskan, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (di dalam amar pembukaan menimbang point e).
[5] Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, Menanggulangi Bahaya Narkotika, hlm. 31.
[6] Ibid, hlm. 30.
[7] Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika, hlm. 10.
[8] Ibid, hlm. 10.
[9] Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, hlm. 14.
[10] Moh. Taufik Makarao, dkk, Op.cit, hlm. 11-12.
[11] Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 31-33.
[12] Lidya Christin Sinaga, 2008, Indonesia di Tengah Bisnis Narkoba Ilegal Global, (Online), (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/32-lidya-christin-sinaga, diakses 5 Oktober 2009).
[13] Penjelasan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
[14] Lidya Christin Sinaga, Op Cit.
[15] Penjelasan UU No. 22 Tahun 1997 tentang  Narkotika
[16] UU No. No 22 Tahun 1997 tentang  Narkotika
[17] Penjelasan UU No. 1997 tentang Narkotika.
[18] Lih. Penjelasan di dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
[19] Lampiran I UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Moh. Zakky A.S, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, 1985, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Cetakan Pertama, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, 1976, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, PT. Karya Nusantara, Bandung.
INTERNET
Handoyo Setiyono, Sejarah Hukum UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Diambil dari internet cahwaras.wordpress.com/.../sejarah-hukum-uu-no-22-tahun-1997…, April 25, 2010.
Lidya Christin Sinaga, 2008, Indonesia di Tengah Bisnis Narkoba Ilegal Global, (Online), (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/32-lidya-christin-sinaga, diakses 5 Oktober 2009).
Patri Handoyo, 2009, Mengapa Bangsa Indonesia perlu Memiliki UU Narkotika dan Psikotropika, (Online),(http://www.acehforum.or.id/mengapa-bangsa-indonesia-t26783.html?s= 9e3dfdf606a5b55f7e0ea17e9a94c973&amp, diakses 5 Oktober 2009).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.