AL HIDAYAH FM

Sabtu, 28 Januari 2012

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NO. 7 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN TEMPAT KHUSUS PARKIR TERHADAP PRAKTIK KLAUSULA BAKU PENGELOLA JASA PERPARKIRAN DI WILAYAH SURAKARTA (STUDI KASUS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN PARKIR DI WILAYAH SURAKARTA)


A.    Latar Belakang Masalah
Jasa perparkiran merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pelaku usaha yang bermotivasi tidak ingin menanggung kerugian berlebih dari risiko yang seharusnya ditanggung. Hal tersebut tampak di dalam beberapa klausula baku seperti “barang hilang tanggung jawab pemilik kendaraan”. Sampai sekarang masih banyak pelaku usaha jasa parkir yang dengan seenaknya lepas tangan atas kerugian konsumen yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Pelaku usaha mendasarkan argumentasinya pada keberadaan klausula baku, tetapi hal ini untuk mengelakkan diri dari tanggung jawab ganti rugi yang diderita oleh konsumen.[1]
Keberadaan klausula baku harus diuji apakah sudah memperhitungkan dan mengakomodasi kepentingan konsumen, jika tidak sesuai kepentingan konsumen klausula baku akan dapat menjadi alat jebakan yang merugikan konsumen sekaligus menjadi alasan pembenar bagi pelaku usaha untuk “cuci tangan” atas resiko usahanya. Klausula baku yang dicantumkan dalam karcis atau di areal parkir seharusnya tidak berlaku mutlak, harus diuji apakah merugikan konsumen atau mengelak dari ganti rugi yang menjadi tanggung jawab produsen atau pelaku usaha. Apabila standar baku akan merugikan konsumen maka klasula baku harus batal demi hukum.[2]
Dan bila kita melihat kilas balik sejarah terbentuknya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk mewujudkan misi perlindungan dan pengamanan atas kesejahteraan masyarakat dalam segala sektor kegiatan ekonomi.
“Dengan tujuan melindungi konsumen berarti sama dengan melindungi bangsa” yang kemudian menjadi motivasi dasar bagi pemberlakuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, bahwa setiap individu maupun komunal merupakan konsumen yang selalu menikmati barang/jasa. Motivasi ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa filosofi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan Pancasila (Penjelasan Umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). Adapun sejarah pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia sudah tampak dalam beberapa bidang secara sektoral sebelum tahun 1999, seperti terlihat dari beberapa ketentuan hukum Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Barang, kemudian menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; Undang-Undang No. 2 Tahun 1981; Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, dan lain-lain. Selanjutnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sendiri yang berkedudukan sebagai ketentuan hukum dasar dan umum yang harus dirujuk oleh setiap undang-undang lainnya dalam usaha perlindungan konsumen (umbrella act).[3]
Sedangkan yang menjadi latar belakang pembentukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya lebih dipengaruhi oleh tuntutan globalisasi perdagangan dunia yang diprakarsai oleh World Trade Organization (WTO) dengan perjanjian GATT-nya. Globalisasi jelas membuka lebar arus transaksi perdagangan internasional ke Indonesia yang berdampak pada semakin banyaknya barang/jasa yang ditawarkan. Pemikiran akan pentingnya pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang khusus semakin dirasa penting mengingat faktor kelemahan konsumen yang masih rendah. Tingkat kesadaran konsumen akan haknya (penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999) jelas membawa risiko yang sangat besar bagi terjaminnya kesehatan dan keamanan barang / jasa yang dinikmati konsumen. Tidak terkecuali jasa perparkiran yang semula tidak pernah digarap dengan baik saat ini menjadi bidang bisnis yang sudah berkembang dan sangat menjanjikan. Perlindungan hukum atas kepentingan konsumen pun seharusnya menjadi perhatian utama bagi pelaku usaha jasa perparkiran. Mulai dari jaminan sistem perparkirannya, keamanan kendaraan hingga penggunaan jasa selesai. Pada prinsipnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tidak hanya menekankan pengawasan pada tindakan konsumen namun juga pemberdayaan konsumen untuk lebih sadar dan memperjuangkan apa yang menjadi hak-haknya.[4]
Kasus Anny vs PT. SPI merupakan salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran konsumen yang terjadi di masyarakat. Perbedaannya Anny merupakan contoh konsumen yang sadar dan berani berjuang untuk mempertahankan hak yang semestinya dinikmatinya sebagai hak konsumen atas keamanan jasa perparkiran. Klausula baku yang dicantumkan dalam karcis atau di areal parkir seharusnya tidak berlaku mutlak, justru keberadaannya harus diuji apakah sudah memperhitungkan dan mengakomodasi kepentingan konsumen. Jika tidak berarti klausula baku menjadi alat jebakan bagi konsumen yang dirugikan sekaligus alat pembenar bagi pelaku usaha untuk “cuci tangan” atas risiko usahanya. Hal semacam ini harusnya bisa dihindari jika pelaku usaha memahami asas perlindungan konsumen yang menekankan asas keamanan dan keselamatan konsumen sebagaimana telah diatur secara tegas dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.[5] Dan juga asas kesimbangan yang terdapat di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yang menegaskan adanya kondisi seimbang dalam pemenuhan kepentingan, baik bagi konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, dalam arti materiil ataupun spiritual (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). Ini berarti ketiga pihak tersebut harus dilindungi secara seimbang, tidak boleh hanya menitikberatkan satu pihak saja tetapi ketiganya sekaligus. Tidak mudah memang memahami prinsip keseimbangan tersebut mengingat judul Undang-Undang a quo ternyata menegaskan satu pihak yang dilindungi, yaitu konsumen.[6]
Oleh karena itu, hubungan bisnis yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen pada dasarnya didasarkan pada perjanjian di antara kedua belah pihak. Sebagai sebuah perjanjian, masing-masing pihak memilki prestasi sekaligus kontraprestasi yang harus dilakukan. Pelaku usaha wajib menyerahkan barang / jasa sesuai perjanjiannya, sedangkan konsumen pada tahap ini berhak mendapatkan jaminan yang baik atas barang / jasa. Pada tahap kedua, setelah konsumen menerima barang / jasa dengan baik, ia wajib menyerahkan pembayaran sebagai imbalan barang / jasa, sedangkan pelaku usaha berhak mendapatkan imbalan dari konsumen sesuai harga yang disepakati. Mengingat perjanjian merupakan bentuk perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III BW, sifat terbuka dari perjanjian jelas berlaku bagi semua bentuk perjanjian. Kegiatan bisnis yang selalu berkembang dalam segala bentuk dan variasinya menuntut hukum lebih bersifat terbuka atau fleksibel agar dapat menampung kebutuhan masyarakat. Pasal 1338 BW merupakan dasar bagi para pelaku usaha untuk berkreasi dalam membuat perjanjian demi melindungi kegiatan bisnisnya. Asas Kebebasan Berkontrak terdapat secara implisit dalam pasal 1338 BW. Latar belakang munculnya asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh doktrin individualistik dan liberal sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan Raja pada hal-hal yang sifatnya privasi yang pada akhirnya menciptakan sebuah konsep kebebasan individu (kebebasan bagi setiap orang untuk mengejar kesejahteraannya sendiri dan mengatur perhubungan sosial menurut kehendaknya sendiri.[7] Sedangkan individu menuntut pengakuan dan perlindungan hak pribadi untuk berbuat sesuatu dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhannya. Pemberlakuan asas kebebasan berkontrak tersebut jelas membuka ruang bebas bagi terciptanya berbagai macam perjanjian yang diberlakukan di dunia bisnis, salah satunya perjanjian baku atau klausula baku. Munculnya perjanjian baku menurut Sidabalok lebih karena “semata-mata menghemat waktu dan uang (alasan ekonomis) menghindari negosiasi yang berlarut-larut.”[8] Pendapat berbeda disampaikan Sutan Remi Sjahdeini yang memandang perjanjian baku / standar kontrak adalah “suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.”[9] Kedua pendapat memang ada benarnya jika klausula baku kemunculannya dari sisi praktis untuk memperlancar kegiatan bisnis yang membutuhkan efektivitas waktu.
Perlu dipahami adanya perbedaan mendasar apa yang disebut klausula baku dan perjanjian baku. Klausul lebih menunjuk pada satu term atau satu / beberapa point kesepakatan yang terdapat di dalam perjanjian yang sudah tercantum dalam perjanjian. Sementara itu, perjanjian baku merupakan bentuk perjanjian yang baik isi maupun bentuknya sudah dibakukan untuk berlaku pada satu bidang bisnis. J. Satrio menggunakan istilah “perjanjian sepihak” dengan mendefinisikannya sebagai “perjanjian  yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedangkan para pihak yang lain hanya ada hak saja”[10]. Perjanjian sepihak lebih menekankan pihak yang berinisiatif membuat perjanjian hanya satu pihak saja yang akhirnya berdampak pada pemberian kewajiban pada pihak lainnya. Mengenai istilah “baku” dalam perjanjian baku, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani memberikan penjelasan bahwa “dikatakan ‘baku’ karena baik perjanjian maupun klausula  tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.”[11] Dapat dikatakan bahwa perjanjian baku berisikan beberapa klausula yang memang sudah tersusun dengan baik dan sistematis dan bersifat tertutup untuk diubah. Pada posisi tersebut pelaku usaha (pembuat klausula baku) lebih dipandang sebagai pihak yang sudah siap dengan penawaran jasanya, menetapkan sistem yang akan digunakannya dan menutup kemungkinan proses tawar menawar dengan konsumen.[12]
Selain definisi klausula baku dan perjanjian baku di atas, ada pula dasar hukum mengenai ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1)      Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.       menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.       memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.      menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2)      Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3)      Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4)      Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang undang ini.[13]
Dan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir di dalam Pasal 14 yang berbunyi, dalam melakukan usaha Pengelola Parkir mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a.       Mematuhi dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Menjaga keamanan, ketertiban, keindahan, dan kelancaran lalu lintas di kawasan lokasi parkir yang diusahakannya;
c.       Menempatkan papan nama parkir tempat usahanya menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Walikota;
d.      Menyerahkan hasil pungutan retribusi kepada Walikota melalui Dinas sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah potensi pendapatan parkir sesuai kontrak yang disepakati;
e.       Memungut tarif retribusi sesuai ketentuan peraturan yang berlaku;
f.       Memberikan seragam dan kelengkapannya kepada petugas parkir;
g.      Mematuhi dan melaksanakan hubungan perburuhan / ketenagakerjaan sesuai dengan Peraturan perundangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan;
h.      Memberikan jaminan sosial dan hak-hak lainnya kepada petugas parkir sebesar 15% (lima belas persen) dari potensi pendapatan parkir;
i.        Bertanggungjawab atas kerusakan dan atau kehilangan kendaraan termasuk kelengkapannya karena kesengajaan atau kealpaan sesuai kesepakatan yang berlaku.[14]
Yang pada intinya klasula baku tersebut sangat bertentangan dengan isi yang terkandung di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan di dalam Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis perlu melakukan suatu penelitian hukum yang berjudul: “Penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir Terhadap Praktik Klausula Baku Pengelola Jasa Perparkiran di Wilayah Surakarta” (Studi Kasus atas Perlindungan Hukum Konsumen Parkir di Wilayah Surakarta).

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut. Maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apakah penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir sudah sesuai dengan praktik klausula baku Pengelola Jasa Perparkiran di wilayah Surakarta ?
2.      Bagaimana bentuk perlindungan hukum apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area perparkiran wilayah Surakarta ?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.      Tujuan Obyektif
a.       Mengkaji penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir terhadap praktik klausula baku pengelola jasa perparkiran di wilayah Surakarta.
b.      Mengetahui upaya perlindungan hukum apa saja apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area jasa perparkiran wilayah Surakarta.
2.      Tujuan Subyektif
Untuk memenuhi tugas proposal hukum mata kuliah metode penelitian hukum sebagai persyaratan akademik dibidang ilmu hukum, dengan minat utama hukum bisnis di Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

D.    Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum bisnis, khususnya dibidang perlindungan hukum konsumen jasa perparkiran.
2.      Manfaat Praktis
Memberikan saran atau masukan bagi pengelola jasa perparkiran sebagai pelaku usaha guna memperluas pemahaman tentang hak dan kewajibannya yang diatur di dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, serta untuk menghindari pencantuman atas klausula baku yang merugikan konsumen parkir dalam perjanjian sewa tempat yang dibuat oleh pengelola jasa perparkiran di wilayah Surakarta.

E.     Landasan Teori
Landasan teori yang dipakai yaitu menurut pendapat teori hukum abad ke-19 yang ditandai oleh beberapa kecenderungan utama untuk revolusi industri, dengan tiga tokoh diantaranya :
1)      Teori Karl Mark (Hukum itu Kepentingan Orang Berpunya)
Karl Marx dapat dikatakan orang pertama, dan dengan amat jelas serta terperinci menjelaskan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia. Ia mengatakan, siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia. Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada dibaliknya[15]. Tidak ada satupun peristiwa sejarah di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan kategori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Hukum pun tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Misalkan, mengapa peraturan di bidang perburuhan cenderung menggelisahkan buruh? Menurut Marx, karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Sedangkan isu utama dalam hukum menurut Marx, bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan ‘orang berpunya’. Ia tidak lebih dari sarana penguasaan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka[16].       
2)      Teori Henry S. Maine (Hukum itu Produk Adaptasi Sosial)
Maine dikenal dengan teorinya Movement from Status to Contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia (khususnya cina dan India) dan masyarakat Eropa[17]. Dari studi tersebut, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: (i). Static Societies (Cina dan India), dan (ii). Progressive Societies (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan-hubungan antar-status. Sebaliknya pada masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar-prestasi.[18]
Sebagai penganut teori evolusi, Maine melihat proses-proses perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang alami. Jalurnya jelas, melalui peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan motor penggerak adaptasi itu adalah ekonomi. Arahnya pun pasti selalu menuju ke situasi-situasi yang serba adaptif dan terdeferensiasi pada tingkat struktural. Dan manusia tidak lagi dilihat dari segi ‘bawaan’-nya, tapi pada prestasi yang dibuat. Prestasi harus dibalas konta prestasi. Di sinilah terjadi kontrak antar prestasi dari para individu-individu yang menjinjing prestasinya masing-masing. Seiring dengan progresi seperti itu, hukum pun berubah dari fungsinya yang mengukuhkan hubungan-hubungan lama yang bersifat antar status ke hubungan-hubungan baru yang bersifat kontraktual[19]
3)      Teori Emile Durkheim (Hukum itu Moral Sosial)
Teori Durkheim ini, mungkin agak mengagetkan karena ia menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang selalu berurusan dengan persoalan moral. Ia adalah sosiolog-positivistik yang berjejer di belakang Mark dan Maine yang selalu bergumul dengan fakta-fakta empiris.[20]
Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan unit yang abstrak. Ia merupakan ‘roh’ yang mengikat orang-orang pada ‘kerangka keyakinan’ bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi[21]. Inilah dimensi moral yang dimaksud Durkheim. Tapi berhenti di sini, berarti berhentilah kerja sosiolog. Meskipun sosiolog merupakan kerangka keyakinan, tetaplah sebuah unit yang abstrak. Kerangka keyakinan tidak merubah solidaritas sosial menjadi susuatu yang empiris. Durkheim lalu mencari unit empiris dalam mosaik solidaritas sosial yang abstrak itu. Di situlah ia menemukan hukum sebagai unit yang empiris dari solidaritas sosial.[22]

F.     Penelitian yang Relevan
Tinjauan penelitian yang relevan mengenai penerapan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir dengan praktik klausula baku jasa perparkiran, serta bentuk perlindungan hukum apabila terjadi kerugian atau kehilangan barang yang diderita konsumen parkir atas diberlakukan klausula baku di area perparkiran wilayah Surakarta. Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian sejenis di wilayah Surakarta mengenai permasalahan di atas.

G.    Kerangka Pemikiran
Dalam pencantuman klausula baku jasa perparkiran, pengusaha lebih mencari posisi aman dalam membuat suatu perjanjian klausula baku jasa perparkiran dengan konsumen parkir. Dimana perjanjian klausula baku yang membuat hanyalah salah satu pihak saja yaitu pengelola jasa parkir tanpa melibatkan pihak konsumen parkir untuk dimintai pendapat dan masukan mengenai isi pembuatan perjanjian klausula baku yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.
Oleh karena itu, asas kebebasan berkontrak yang terdapat di Pasal 1338 KUHPer tidak menitikberatkan pada keseimbangan kepentingan di dalam perjanjian, karena dalam hal ini pengelola jasa parkir lebih ditempatkan pada posisi yang kuat dalam menentukan isi perjanjian klausula baku dengan segi untuk mencari keuntungan finasial atas pengelolaan jasa perparkiran, tanpa memperhitungkan kerugian dipihak lain selaku konsumen dengan diterapkannya klausula baku tersebut. Adapun isi klausula baku sederhana yang biasa kita jumpai sehari-hari, di Mall, atau tempat parkir pada umumnya berbunyi ; “Barang Hilang Bukan Tanggung Jawab Pengelola Jasa Parkir”. Klausula baku tersebut sangatlah bertentangan sekali dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir.
Dan secara umum perjanjanjian klausula baku yang dibuat oleh pengelola jasa perparkiran akan menyebabkan dampak secara langsung yang merugikan konsumen apabila terjadi kerusakan dan atau kehilangan barang di tempat parkir, semisal; kehilangan motor, mobil, dan lain-lain, sehingga pengelola jasa parkir tidak mau mengganti kerugian atas hilangnya barang tersebut. Yang pada intinya di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 14 point b, dan i Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 mengenai aturan yang seharusnya (Das Sollen), apakah sudah sesuai dengan senyatanya (Das Sein) dalam praktek yang ada dilapangan terhadap perjanjian klausula baku yang dibuat oleh pengelola jasa parkir di wilayah Surakarta. 

H.    Metode Penelitian
a.      Jenis Penelitian
Berawal dari latar belakang dan pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di depan, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-doktrinal / sosio legal research, yaitu realita bekerjanya hukum yang ada dilapangan.
Menurut Soetandyo Wignyo Soebroto dikatakan bahwa ; Socio Legal research merupakan suatu penelitian yang meneliti persoalan-persoalan yang menyangkut hal fungsi hukum sebagai suatu institusi di dalam masyarakat, berikut faktor-faktor sosial, cultural psikologis yang mempengaruhinya. Socio Legal research atau penelitian mengenai permasalahan bekerjanya hukum dalam masyarakat, berkembang baik di negara-negara nasional yang tengah dihadapkan kepada persoalan tak lagi efektifnya hukum untuk menata tertib sosial dan/atau untuk mengelola serta mengendalikan perkembangan masyarakat. Tidak lagi efektifnya hukum untuk melaksanakan fungsinya di dalam masyarakat telah mendorong pemuncak dalam tata politik negara yang mempertanyakan, mencari, meneliti sebab-sebab yang non yuridis (socio cultural dan/atau sosio psikologis).[23]
Sehingga menurut bidangnya jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat empirik/sosiologis. Sedangkan menurut konsep hukum yang digunakan dalam penelitian ini, hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka.[24]
b.      Sifat Penelitian
Menurut sifat penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, dengan maksud untuk memberikan data-data yang akurat dan seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori.
Dan menurut bentuk penelitian termasuk kedalam penelitian diagnostik dan evaluatif. Diagnostik merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Sedangkan penelitian evaluatif dilakukan apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan.[25]   
c.       Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian non-doktrinal dengan memakai salah satu dari empat macam paradigma, yaitu positivisme, atau postpositivisme, atau critical theory atau konstruktivisme. Pendekalatan yang digunakan salah satu yaitu pendekatan penelitian dengan paradigma postpositivisme yang digunakan dalam wawancara dan observasi.[26]
d.      Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian sosial mengenai hukum (social legal research) digunakan data primer dan data sekunder[27]:
a.       Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data-data yang berupa observasi (pengamatan), observasi terlibat (berperan serta), wawancara, dan Indepth interviewer (wawancara mendalam) terhadap keterangan-keterangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan.[28] Observasi dan wawancara dilakukan penulis terhadap pengelola jasa perparkiran, petugas parkir, konsumen parkir, dan para pembuat kebijakan di DPRD tentang Perda parkir di wilayah Surakarta.
b.      Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder terdiri atas[29]:
1)      Bahan hukum primer meliputi ; Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, dan peraturan yang diperlukan untuk menunjang penelitian.
2)      Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum bisnis, buku teks, komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan masalah hukum bisnis.
3)      Bahan hukum tersier, berupa kamus, ensiklopedia, dan indeks kumulatif.
e.       Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung jenis penelitian Socio-legal : dalam paradigma postpositivisme digunakan wawancara dan observasi.[30] Terhadap pengelola Jasa Perparkiran, Petugas Parkir, Konsumen Parkir, dan Para Pembuat Kebijakan di DPRD tentang Perda Parkir di wilayah Surakarta.
f.       Teknik Analisis data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisis kualitatif, rumusan mengenai metode penelitian berfungsi sebagai penuntun pelaksanaan yang bersifat sementara. Di dalam proses penelitian perumusan tersebut dapat dilakukan perubahan atau penyempurnaan. Secara umum metode penelitian kualitatif memuat komponen-komponen sebagai berikut[31]
a.       Tempat atau lokasi penelitian di wilayah Surakarta.
b.      Sumber data diperoleh dari Pengelola Jasa Perparkiran, Petugas Parkir, Konsumen Parkir, dan Para Pembuat Kebijakan di DPRD tentang Perda Parkir di wilayah Surakarta.
c.       Teknik pemerolehan data dengan observasi (pengamatan), dan wawancara.
Setelah data terkumpul dari wawancara dan observasi, kemudian dilakukan dengan data reduction[32] yaitu bagian dari teknik analisis, suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.[33]
I.       Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan dalam 3 (tiga) tahap yang memerlukan waktu sekitar 8 (delapan) bulan, yaitu :
1.      November 2011- Januari 2012 tahap persiapan penelitian selama 3 (tiga) bulan, meliputi kegiatan pra studi, identifikasi masalah, penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal dan perbaikan proposal.
2.      Pebruari – Maret 2012 tahap pelaksanaan penelitian selama 2 (dua) bulan, meliputi kegiatan identifikasi sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, pengumpulan data sekunder, pengolahan data dan analisa data.
3.      April – Juni 2012 tahap pennyelesaian penelitian selama 3 (tiga) bulan, meliputi kegiatan penulisan laporan hasil penelitian, dan ujian tesis serta perbaikan.

Disusun Oleh : Andita Hadi Permana S.H. (Mahasiswa S2 Hukum UNS)

[1] Hwian Christanto, Perlindungan Konsumen Atas Keamanan Pengguna Jasa Perparkiran Terkait Klausula Baku: Studi Kasus Ganti Rugi Atas Hilangnya Kendaraan di Area Perparkiran.  Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.58.
[2] Ibid., hal. 58.
[3] Herlian Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.60.
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] www.media Indonesia.com, 1 Agustus 2010: Hilangnya di Tempat Parkir Kendaraan Diganti, di akses tanggal 15 Januari 2011. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.58-59.
[7] Herlian Budiono, Op Cit. hlm. 106.
[8] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.61-62.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[10] J. Satrio, Hukum Perjanjian: Perjanjian pada Umumnya. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[11] Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[12] Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen. Di dalam Jurnal Hukum Bisnis “Perlindungan Konsumen : Hukum dan Faktanya”, Volume 30 – No.1 – Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) Business Law Development Foundation, hlm.62.
[13] Lihat Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[14] Lihat Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tempat Khusus Parkir, Pasal 14.
[15] Lih William M. Evan, Social Structure and Law: Theoretical and Empirical Perspektives. Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm.97.
[16] Ibid.,
[17] Lih S. Prakash Sinha, Jurisprudence…, Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 111.
[18] Ibid.,
[19] Lih Wolfang Friedman, Legal Theory…, Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 113-114.
[20] Ulasan tentang Durkheim dalam karya ini, sebagian besar diambil dari Vilhelm Aubert (ed), Sociology of Law…, William M. Evan, Socio Structure and law… Di dalam buku Bernard L. Tanya,dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publisihing, Cetakan ke-III April 2010, Semarang, hlm. 115
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] Soetandyo Wignyosoebroto, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi dalam Masyarakat Indonesia. Di dalam tesis Supriyanto, Aspek Perlindungan Hukum pada Konsumen Kendaraan Bermotor terhadap Perjanjian Pembiayaan Konsumen..., UNS Surakarta, 2004. hlm. 70.  
[24] Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program  Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), 2010. hlm.20.
[25] Ibid., hlm.5-6.
[26] Setiono, Pedoman Pembimbingan Tesis dan Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. hlm. 26-27.
[27] Ibid., hlm. 26.
[28] Ibid., hlm. 26.
[29]Ibid., hlm. 27.
[30] Ibid., hlm. 26-27.
[31] Ibid., hal. 27.
[32] Setiono., Op Cit. hlm.30.
[33] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar